Selasa, 28 September 2010

Pertemuan Ke III MSI

1. Perkembangan Studi Islam
Perkembangan studi Islam terkait erat dengan perkem-bangan pendidikan Islam yang membahas kurikulum dan ke-lembagaannya baik di dunia Islam, dunia Barat maupun di Indonesia sendiri.
Bahan bagian ini diadaptasi dari Pengantar Studi Islam Hadidjah dan M. Karman al-Kuninganiy (2008:11-21).

a.Studi Islam di Dunia Islam
Dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih dikenal dengan nama al-jami’ah, yang secara historis dan kelembagaan berkaitan dengan masjid jami’ (tempat berkumpul jama’ah untuk menunaikan shalat Jum’at) (Munir ud-Din Ahmed, 2002:8). Al-Jami’ah yang paling awal dengan pretensi sebagai lembaga pendidikan tinggi, tercatat Al-Azhar di Kairo, Zaituna di Tunis, dan Qarawiyyin di Fez. Tetapi, al-jami’ah-al-jami’ah ini yang diakui sebagai universitas tertua di muka bumi, hingga dilakukannya pembaharuan dalam beberapa dasawarsa silam, lebih tepat disebut “madrasah tinggi” dari pada “universitas”.
Azyumardi Azra juga mencatat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik madrasah (sekalipun menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, advanced education), maupun al-jami’ah, yang memang dimaksudkan sebagai pendidikan tinggi, tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penelitian bebas berdasarkan nalar, sebagaimana terdapat di Eropa pada masa modern. Bahkan, universitas di Eropa yang akar-akarnya dapat dilacak dari al-jami’ah, seperti ditegaskan Stanton berdasarkan penelitian al-Makdisi (1981 dan 1990) hingga abad ke-18, juga tidak bebas sepenuhnya. Universitas abad pertengahan, bahkan pada umumnya berafiliasi dan terkait kepada gereja.
Sepanjang sejarah Islam, baik madrasah maupun al-jami’ah diabdikan, terutama untuk ilmu-ilmu agama dengan penekanan pada bidang fikih, tafsir dan hadis. Ijtihad, walaupun diberikan ruang gerak, tetapi tidak dimaksudkan berpikir sebebas-bebasnya, kecuali sekedar memberikan penafsiran “baru” atau pemikiran “independen” yang tetap berada dalam kerangka doktrin yang mapan dan disepakati. Dengan demikian, ilmu-ilmu non agama, terutama yang eksakta yang merupakan akar pengembangan sains dan teknologi sejak awal telah termarjinalkan (Khozin, 2001:56). Kondisi seperti ini berbeda dengan dasar Islam yang tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan non agama. Al-Ghazali (1085-1111M) disebut-sebut sebagai “yang bertanggungjawab” memisahkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu non agama. Menuntut ilmu agama wajib bagi setiap Muslim, sedangkan wajib kifayah untuk menuntut ilmu-ilmu umum.
Sebenarnya, sebelum kehancuran Mu’tazilah pada masa Makmun (198-218/813-833), ilmu umum yang berlandaskan kajian-kajian empiris telah dipelajari di madrasah. Dengan kesan mencurigai ilmu-ilmu umum yang berbasiskan nalar itulah maka ilmu-ilmu tersebut dihapuskan dari madrasah. Para peminat kepada ilmu-ilmu umum tersebut akhirnya belajar sendiri-sendiri, karena ilmu-ilmu agama dipandang sebagai yang dapat menggugat kemapanan doktrin sunni, terutama dalam bidang kalam dan fikih. Jadi, pada masa sebelum khalifah al-Makmun, sains mencapai puncaknya, hampir dipastikan bukan mucul dari madrasah, tetapi hasil kegiatan ilmiah individu-individu ilmuwan Muslim yang disemangati oleh scientific inquiry (penyelidikan ilmiah) untuk membuk-tikan kebenaran-kebenaran Alquran, terutama yang bersifat kauniyah (kealaman).
Menurut catatan sejarah, ada empat perguruan tinggi yang disebut-sebut sebagai kiblat bagi pengembangan studi Islam di dunia Muslim, yang selanjutnya diikuti oleh para orientalis dalam studi Islam di kalangan sarjana Barat. Pertama, Madrasah Nizhamiyah di Nisyafur. Madrasah ini, menurut Ibnu Khalikan (w. 681-1282) dibangun oleh Nizham al-Mulk untuk al-Juwaini, tokoh Asy’ariah, dan sekaligus guru besar di madrasah ini selama tiga dekade hingga wafatnya pada 478/1085 (Hasan Asari, 1994:57). Madrasah ini terdiri dari tiga bagian inti, gedung madrasah, masjid dan perpustakaan (bayt al-maktab). Madrasah ini memiliki beberapa staff, yaitu seorang guru besar (mudarris) yang bertanggung-jawab atas pelaksanaan pengajaran, seorang ahli Alquran (muqri’), ahli hadis (muhaddits), dan pengurus perpusta-kaan, yang bertanggungjawab terhadap tugasnya masing-masing. Tercatat nama-nama seperti al-Juwaini, Abu al-Qasim, al-Kiya al-Harrasi, al-Ghazali dan Abu Sa’id sebagai mudarris, Abu al-Qasim, al-Hudzali dan Abu Nasyar al-Ramsyi sebagai muqri’, Abu Muhammad al-Samarqandi sebagai muhaddits, dan Abu Amir al-Jurjani sebagai pustakawan. Al-Ghazali pernah tercatat sebagai asisten al-Juwaini.
Kedua, madrasah di Baghdad berdiri tahun 455/1063 yang dibangun oleh khalifah al-Makmun (813-833 M), yang dilengkapi dengan perpustakaan termasyur, Bayt al-Hikmah. Berbeda dengan madrasah Nizhamiyyah di Nisyafur, di Baghdad tidak memiliki masjid. Sebagai madrasah terbesar di zamannya, madrasah ini diajar oleh para guru besar yang memiliki reputasi tinggi, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476/1083), al-Kiya al-Harasi, dan al-Ghazali (1058-1111 M) yang tercatat sebagai pemikir terbesar dengan sebutan Imam al-Ghazali dan pengaruh-nya cukup kuat di Timur. Madrasah yang beridiri hampir dua abad ini akhirnya hancur, sekaligus melambangkan kehancuran Islam pada masa pemerin-tahan Abbasiah, setelah Hulagu Khan (1256-1349 M) melakukan penyer-buan besar-besaran ke Baghdad.
Ketiga, Universitas Al-Azhar di Kairo. Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir ini tidak terlepas dari eksistensi Abbasiah-Syiah yang pengaruh kekuatan politiknya mulai melemah. Di sinilah wilayah-wilayah kekuasaan Daulat Ababsiah seperti Thahiriyah, Safawiyah, Samawiyah, Thuluniyah, Fathimiyah, Ghaznawiah, dan lain-lain menuntut otonomisasi. Daulah Fathimiyah (909-1171 M) misalnya, segera bangkit di Tunis. Ubaidillah al-Mahdi diangkat sebagai khalifah pertama Fathimiyah yang beraliran Syiah. Pada masa pemerintahan Muiz li Dinillah (952-975 M), khalifah IV dari Fathimiyah, Lybia dan Mesir berhasil ditaklukkan di bawah panglima besarnya, Jauhar al-Siqili (362 H/972 M) dari Daulah Abbasiah, yang dikenal sebagai pendiri ibukota baru Mesir, Kairo (dulu Fustat). Kemudian ibu kota Syria dipindahkan dari Tunis ke Kairo, Mesir. Al-Siqili pula yang membangun perguruan tinggi Al-Azhar berdasarkan ajaran sekte Syiah. Selanjutnya, pada masa khalifah al-Hakim bin Amrillah (996-1020 M), dibangun perpusatakaan terbesar di Kairo, Bait al-Hikmah, yang disebut-sebut sebagai corong propaganda kesyiahan. Konon, al-Hakim mengeluarkan dana 275 dinar untuk menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang dikembangkan lebih banyak ber-orientasi pada masalah-masalah keislaman, astronomi dan kedokteran. Ali Ibn Yunus, Ali al-Hasan, dan Ibnu al-Haitam, tercatat sebagai tokoh yang mengembangkan ilmu astronomi. Dalam masa ini kurang lebih seratus karya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan. Bahkan, pada masa al-Muntasir, terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku. Pada tahun 567 H/1171 M, Shalahuddin al-Ayyubi (1171-1193 M) berhasil merebut Daulah Fathimi-yah dan mendirikan Daulat Ayubiyyah (1171-1269 M) dan menyatakan tunduk kembali kepada Abbasiah. Al-Azhar saat itu beralih kurikulum dan orientasi Syi’ah ke Sunni, tetapi Al-Azhar tetap berdiri tegak hingga abad ke-21 ini.
Di Universitas Al-Azhar ini, rektor (syekh Al-Azhar), selain merupakan jabatan akademis, juga merupakan kedudukan politis yang berwibawa vis avis kekuasaan politik. Tetapi, sejak Dinasti Usmaniah (1517-1798) pamor Al-Azhar mulai menurun, sehingga Muhammad Ali mengintervensi Al-Azhar dalam membenahi Al-Azhar sejak paroh abad ke-19. Kenyataan ini pula yang membawa preseden lenyapnya “independensi” Al-Azhar sebagai lembaga akademis, yang pada gilirannya mempengaruhi otoritas dan pamornya, terutama dalam hubungannya dengan kekuasaan politik hingga kini.
Keempat, Universitas Cordova, Pemerintahan Abdur-rahman I dipandang sebagai tonggak kemajuan ilmu dan kebudayaan di Cordova. Sejarah mencatat bahwa Aelhoud dari Bath (Inggris) belajar di Cordova pada tahun 1120 M yang mendalami geometri, al-Jabar dan matematika.

b.Studi Islam di Dunia Barat
Kejayaan Islam dalam konteks ilmu pengetahuan telah menjadikan perguruan tinggi Islam “dibanjiri” para mahasiswa dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang kemudian menjadi tokoh-tokoh atau pemikir Barat. Inilah kontrak pertama dunia Barat dengan dunia Islam (Muslim). Perguruan tinggi terkenal dalam masa kejayaan antara lain perguruan tinggi yang berpusat di Irak (dunia Muslim belahan Timur) dan Mesir serta Cordova (di dunia Muslim belahan Barat). Inilah awal kebangkitan (renai-sance) Barat yang secara perlahan mencapai kemajuan yang gemilang.
Kemajuan Barat juga tidak terlepas dari kegiatan penerjemahan manuskrip-manuskrip berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-13 M hingga masa ranaisance di Eropa abad ke-14 oleh para ilmuan Barat, termasuk tentunya orientalis. Kegiatan penerjemahan tersebut mendapat dukungan Kaisar Dinasti Romawi (1198-1212), Raja Frederick dari Sicilia. Kegigihan sang raja akhirnya membuahkan hasil dengan terbangunnya beberapa perguruan tinggi di Italia, seperti Padua, Florence, Milano, Venezia, disusul oleh Oxford dan Cambride di Inggris, Sorbone di Perancis, dan Tubingen di Jerman. Bidang filsafat merupakan yang paling menonjol dari kegiatan penerjemahan manuskrip tersebut, sehingga lahirlah aliran Skolastik, aliran Rasionalisme, aliran Emphirisme, dan lain-lain. Kegiatan penerjemahan ini telah membuka Barat mengembangkan penelitian mereka dalam bidang ilmu pengetahuan di Barat. Francirs Bacon (1561-1626) telah megilhami para sarjana Barat dalam kegiatan observasi dan eksperimen, terutama karyanya Novu Organon.
Tercatat tokoh yang mengembangkan ilmu pengetahu-an dari penerjemahan manuskrip Arab tersebut Gerbert d’Auvergne (999-1003 M) dalam bidang kedokteran dan matematika di abad ke-11 M. Pada pertengahan abad ke-12 M dibentuk semacam kelompok penerjemah yang diketuai oleh Archdeacon Dominicues Gundasalvi. Kelom-pok ini untuk pertama kalinya menerjemahkan humpunan komentas Ibnu Sina dan al-Ghazali dalam bahasa Latin. Karya Ibnu Sina untuk pertama kalinya diterjemahkan dalam bidang kedokteran berjudul Canon of Medicine oleh Cromena (w. 1187 M). Tetapi usaha penerjemahan baru berlangsung secara intensif pada masa Raja Frederik II (1212-1250 M)m yang menetap di Palermo, ibukota Sicilia. Di Palermo, Raja Frederik II mengumpulkan para sarjana Yahudi untuk pentingan penerjemahan, kemudia sarjana Kristen yang mendalami bahasa Arab. Bahkan, Frederik II ini memberikan fasilitas khusus kepada Michael Scot (1175-1234 M) yang menerjemahkan buku karya Averrous (Ibnu Rusyd) dan Hermanus Allemanus yang menerjemahkan karya-karya al-Farabes (al-Farabi). Hermanus Allemanus ini juga menerjemahkan Retorica, terjemahan karya Aristo (384-322 M) di dalam bahasa Arab serta menerjemahkan Poetic dan Ethica karya Avverous yang merupakan terjemahan karya Aristo.
Setelah ilmu pengetahuan Islam (Muslim) ‘migran’ ke Barat dan dikembangkan oleh para sarjana mereka, ternyata banyak ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran sebenarnya, karena telah dirasuki oleh paham sekuler. Inilah yang menyebabkan para sarjana Muslim melakukan upaya pemurnian ajaran. Ismail Raji al-Faruqi, Naquib al-Attas, Ali Ashraf, Ziauddin Sardar dan lain-lain, terpanggil untuk upaya ini. Tokoh-tokoh ini menawarkan gagasan Islamisasi pengetahuan, yakni melakukan penulisan ulang terhadap ilmu-ilmu modern (produk Barat) dan menanggalkan ciri-ciri sekularismenya. Upaya lainnya mendirikan universitas-universitas Islam seperti yang terjadi di Pakistan, International Islamic University, di Washington DC, Islamic of Advanced Studies, atau The International Institut of Islamic Thought and Civilization (biasa disebut ISTAC) yang dipelopori oleh Naquib al-Attas.
Dalam perkembangan selanjutnya, studi Islam di Barat sedikit bervariasi. Di Chicago University, studi Islam menekankan pada bidang pemikiran Islam, bahasa Arab, naskah klasik dan bahasa-bahasa Islam non Arab. Studi Islam tersebut berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat, di Amerika, studi Islam pada umumnya menekankan pada studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial, yang berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah atau Timur Dekat. Di UCLA, studi Islam dibagi empat komponen. Pertama, mengenai doktrin dan sejarah Islam, termasuk pemikiran Islam. Kedua, bahasa Arab dan teks-teks klasik mengenai sejarah, hukum dan lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa non Arab yang muslim, seperti Urdu, Persia, Turki, bahasa yng telah menghantarkan kebudayaan. Keempat, ilmu-ilmu sosial, sejarah bahasa Arab, bahasa-bahasa Islam, sosiologi dan lain-lain.
Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies, fakultas mengenai studi Ketimuran dan Afrika, yang memiliki berbagai jurusan Bahasa dan Kebudayaan Asia dan Afrika. Salah satu program studi di dalamnya program MA tentang masyarakat dan budaya Islam yang dapat dilanjutkan ke jenjang doktor. Di Kanada studi Islam menekuni kajian budaya dan peradaban Islam di zaman Nabi Muhammad hingga masa kontemporer, memahami ajaran Islam dan masyarakat Muslim di seluruh dunia, dan mempelajari bebagai bahasa Muslim, seperti bahasa Persia, Urdu, dan Turki. Sedangkan di Belanda, yang dulunya menganggap tabu mempelajari Islam, ternyata masih menyisakan kajian Islam di Indonesia, walaupun tidak menekankan pada aspek sejarah Islam itu sendiri.
c.Studi Islam di Indonesia
Perkembangan studi Islam di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan lembaga pendidikan, mulai dari sistem pendidikan langgar, sistem pesantren, sistem pendidikan di kerajaan-kerajaan Islam, hingga munculnya sistem kelas. Pendidikan pesantren dan madrasah sangat menonjol dalam studi Islam di Indonesia.
Di samping pesantren, perguruan tinggi Islam tentu menjadi sebuah lembaga paling diminati untuk studi Islam secara komprehensif. Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, seperti STAIN dan IAIN, dapat dijadikan ruju-kan bagi pengembangan studi Islam. Munculnya gagasan pendirian perguruan tinggi Islam seperti IAIN/STAIN tidak terlepas dari kesadaran kaum Muslim yang dilatarbelaka-ngi berbagai faktor. Pertama, untuk mengakomodasi kalangan yang tidak memiliki kesem-patan melanjutkan ke Timur Tengah. Kedua, keingingan untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam sebagai kelanjutan pesantren dan madrasah. Keingingan untuk menyeimbangkan jumlah kaum terpelajar tamatan sekolah “sekuler” dengan tamatan sekolah agama. Gagasan ini datang dari kalangan agamawan, juga muncul dari kalangan terpelajar Muslim tamatan sekolah “sekuler” (Husni Rahim, 2001:178). Dr. Satiman termasuk yang mengusulkan gagasan perguruan tinggi Islam ini. Ia sempat mendirikan Yayasan Pesantren Luhur tahun 1938, yang kandas karena ada intervensi pihak penjajah. Di Sumatera Barat, pada tahun 1940, sejumlah guru Muslim mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) walaupun hanya bertahan dua tahun karena pendu-dukan Jepang. Upaya yang sama dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional seperti Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Mas Mansyur. Pada 8 Juli 1945 tokoh-tokoh tersebut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta di bawah pimpinan Kahar Mudzakir. Ketika revolusi kemerdekaan, STI berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengembangkan empat fakultas, yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan.
Lembaga pendidikan tinggi Islam tersebut, secara formal, baru direalisasikan oleh pemerintah pada tahun 1950 di Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, pemerintah mengubah status Universitas Gadjah Mada menjadi universitas negeri sesuai dengan PP No. 37/1950 yang dibentuk bagi golongan nasionalis. Pada saat yang sama, kepada kelompok Islam diberikan perguruan tinggi agama Islam (PTAIN) dengan mengubah status Fakultas Agama UII. Tidak berselang lama Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDA) di Jakarta pada 1 Juli 1957, sebagai lembaga yang dipersiapkan untuk mendidik pegawai negeri dengan kemampuan akademik dan semi akademik tingkat diploma sebagai guru agama di SLTP (Husni Rahim, 2001:178).
Jumlah mahasiswa PTAIN dalam satu dekade semakin banyak, termasuk yang datang dari negeri tetangga, Malaysia. Berdasarkan perkembangan-perkembangan itu-lah dan pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat akademis, pada 24 Agustus 1960, presiden mengeluarkan PP No. 11 yang menggabungkan PTAIN dan AIDA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sejak itulah secara berturut-turut di beberapa wilayah propinsi Indonesia berdiri IAIN sebagai sarana bagi masyarakat Muslim untuk mendapatkan pendidikan tinggi.
Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, orientasi kelembagaan dan kurikulum perguruan tinggi Islam tersebut mengalami berbagai inovasi. Tetapi, inovasi tersebut belum diimbangi oleh ketersediaan dosen ahli (expert) dalam bidang ilmunya. Sebagaimana dikatakan Atho Mudzhar, bahwa dalam upaya mengem-bangkan perguruan tinggi untuk masa depan, hal yang perlu dibenahi antara lain, memposisikan disiplin ilmu mana yang termasuk ilmu inti dan mana yang termasuk ilmu bantu. Sejauh ini, beberapa IAIN/STAIN belum mampu memetakan berbagai ilmu ke dalam dua kategori tersebut. Di sini diperlukan dosen yang ahli (expert) dalam bedah ilmu Bantu, seperti Sosiologi Agama, Filosofi Agama, Psikologi Agama, dan sebagainya. Beberapa IAIN/STAIN telah mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu (interdisip-liner), tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan, tetapi menca-kup ilmu-ilmu eksakta, sosial, humaniora, dan lain-lain. Di samping itu, beberapa IAIN/STAIN telah membuka program studi umum, dan bahkan fakultas umum.
Tampaknya IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, IAIN Sunan Gunung Djati di Bandung, IAIN Alauddin di Makassar, dan STAIN Malang, di Jawa Timur, telah lebih maju mengembangkan berbagai disiplin ilmu daripada IAIN/STAIN lainnya di Indonesia. Studi Islam intersipliner di beberapa IAIN/STAIN tersebut mendorong lembaga-lembaga tersebut menjadi universi-tas, yang mempelajari bukan hanya ilmu agama, sebagai-mana yang dikesani orang selama ini, tetapi juga ilmu-ilmu umum (profan). Dengan demikian, sehingga tahun 2007, telah tercatat enam Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia, yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Islam Negeri Malang, dan Universitas Negeri Alauddin Makassar.

Pertemuan Ke II MSI

A.Orientasi Umum Metodologi Studi Islam
1.Pengertian MSI Secara Bahasa dan Istilah
Secara etimologi, metodologi berasal dari kata method dan logos. Method artinya cara dan logos artinya ilmu. Secara sederhana metodologi adalah ilmu tentang cara. Menurut Ahmad Tafsir (1995:9) metodologi adalah cara yang paling cepat dan tepat dalam melakukan sesuatu. Dalam hal ini ilmu tentang cara studi Islam. Abraham Kaflan yang dikutip Abuy Sodikin (2000:4), menjelaskan bahwa metodo-logi adalah pengkajian dengan penggambaran (deskripsi), penjelasan (explanasi) dan pembenaran (justifikasi).
Berdasarkan pendapat Kaflan di atas, metodologi meng-andung unsur-unsur, yaitu:
a.Pengkajian (study)
b.Penggambaran (deskripsi)
c.Penjelasan (ekplanasi)
d.Pembenaran (justifikasi)
Studi berasal dari bahasa Inggris, study artinya mempe-lajari atau mengkaji, yang berarti pengkajian terhadap Islam secara ilmiah, baik Islam sebagai sumber ajaran, pemaha-man, maupun pengamalan.
Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata salima dan aslama. Salima mengandung arti selamat, tunduk dan berserah. Aslama juga mengandung arti kepatuhan, ketundu-kan, dan berserah. Orang yang tunduk, patuh dan berserah diri kepada ajaran Islam disebut muslim, dan akan selamat dunia akhirat. Secara istilah, Islam adalah nama sebuah agama samawi yang disampaikan melalui para Rasul Allah, khususnya Rasulullah Muhammad SAW, untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Di Barat kajian Islam terkenal dengan Islamic Studies, yaitu usaha mendasar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajarannya, sejarahnya, maupun praktek-praktek pelaksana-annya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya (Djamaluddin, 1999:127).
Metodologi studi Islam adalah prosedur yang ditempuh secara ilmiah, cepat dan tepat dalam mempelajari Islam secara luas dalam berbagai aspeknya, baik dari segi sumber ajaran, pemahaman terhadap sumber ajaran maupun sejarahnya.
Dalam metodologi Studi Islam terdapat prosedur ilmiah, sebagai ciri pokoknya, yang membedakan dengan studi Islam lainnya yang tanpa metodologi. Kegiatan pengajian misalnya, berbeda dengan kegiatan pengkajian. Pengajian adalah pro-ses memperoleh pengetahuan Islam yang bersifat normatif-teologis bersumber pada al-Quran dan Sunnah yang dipahami berdasarkan salah satu pemahaman tokoh madzhab tertentu. Hasilnya umat memperoleh dan mengamalkan pengeta-huan Islamnya sesuai dengan pemahaman madzhabnya. Benar dan salah diukur oleh pendapat madzhabnya. Dalam pengajian Islam tidak dibuka wacana dan pemahaman lain selain paham madzhabnya. Jika suatu kali menyentuh paham madzhab lain, tidak dibahas apalagi dipertimbangkan, akan tetapi segera dianggap sesuatu yang keliru, sesat, menyimpang dan tidak jarang dikafirkan. Umat nyaris tidak tahu ada banyak paham madzhab lain yang juga benar. Umat Islam pada umumnya hanya tahu bahwa Islam satu, yang benar itu satu yakni menurut madzhab tertentu. Di Indonesia dalam penga-jian itu umumnya kalau dalam bidang tauhid madzhabnya Asyariah/Ahlussunah waljamaah, bidang fikih madzhabnya Imam Syafi’i, bidang tasawuf madzhab suni bercorak amali. Pengajian biasanya diselenggarakan dalam majelis-majelis taklim dengan berbagai bentuknya, begitu juga kebanyakan madrasah dan pesantren dalam mempelajari Islam lebih mirip kegiatan pengajian ketimbang pengkajian.
Kelebihan dari pengajian, umat memperoleh pengetahu-an yang simpel, sederhana dan merasa mantap dengan peng-etahuan yang diperolehnya.
Adapun kelemahannya amat banyak yaitu antara lain:
a.Umat pengetahuannya terbatas hanya pada satu madzhab tertentu, padahal masih terdapat banyak madzhab yang lain, yang boleh jadi lebih relevan.
b.Umat menjadi kaku ketika berhadapan dengan umat lain yang berbeda madzhab. Mereka mengira hanya ada satu madzhab dan hanya madzhabnya saja yang benar.
c.Umat tidak memiliki pilihan alternatif pemikiran sesuai dengan perkembangan tempat dan zaman yang perkembangannya sangat dinamis.

Berbeda dengan pengajian Islam, pengkajian Islam adalah proses memperoleh pengetahuan Islam yang disam-ping bersifat normatif-teologis, juga bersifat empiris dan historis dengan prosedur ilmiah. Islam dikaji dari berbagai aspeknya seperti aspek ibadah dan latihan spritual, teologi, filsafat, tasawuf, politik sejarah kebudayaan Islam dan lain-lain. Pada setiap aspek dikaji aliran dan madzhab-madzhab-nya. Sehingga Islam yang satu nampak memiliki ajaran yang banyak jenisnya dan tiap jenis ajaran memiliki ajaran spesifik dari berbagai madzhab atau aliran. Dengan demikian Islam yang satu memiliki ragam ajaran, ragam pemahaman dan ragam kebenaran. Dengan mengetahui Islam dari berbagai aspeknya dan dari berbagai madzhab dan alirannya melalui metode yang sistematis, seseorang akan memiliki pengetahu-an Islam yang komprehensif.
Kajian Islam seperti ini, biasanya diselengarakan di Perguruan Tinggi Islam dan lembaga-lembaga kajian keisla-man. Kelebihan kajian Islam antara lain:
a.Memberikan wawasan yang luas tentang Islam baik dari segi aspek-aspek ajarannya maupun dari segi aliran-aliran pemikirannya.
b.Umat akan memiliki sikap pleksibel jika berhadapan dengan pihak lain yang berbeda aliran madzhabnya, bahkan berbeda agamanya.
c.Umat akan memiliki banyak alternatif untuk menganut salah satu pemikiran, madzhab atau pemahaman yang dianggap lebih sesuai dan meyakin-kan jiwa dan pikirannya sesuai dengan situasi, tempat dan zaman yang selalu berkembang dinamis. Selain itu umat Islam akan semakin toleran terhadap pihak lain yang berbeda pendapat.

2.Signifikasi Metodologi Studi Islam
Hingga sekarang umat Islam Indonesia masih banyak yang beranggapan bahwa Islam, agama yang bersifat sempit. Anggapan ini timbul karena salah dalam mengartikan hakikat Islam. Kekeliruan itu terjadi karena pengajian tadi, dan kurikulum pendidikan hanya menekankan pada aspek ibadah, tauhid, al-Quran dan Sunnah. Itupun mengajarkannya hanya menurut satu madzhab dan aliran saja, jadi identik dengan pengajian Islam.
Sebetulnya ada juga orang yang pengetahuannya cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tersusun secara sistematis. Hal yang demikian menurut Abudin Nata (1998:95), karena orang yang bersangkutan ketika menerima ajaran Islam tidak sistematik dan terkoordinasi. Biasanya mereka belajar ilmu dari berbagai guru, namun antara satu guru dengan guru lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak memiliki satu acuan yang sama semacam kurikulum, akibatnya tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai pengetahuan yang dipelajarinya.
Di masyarakat Indonesia juga ditemukan orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam tetapi kurang memahami bidang keilmuan Islam yang lainnya. Pada satu waktu ilmu fikih berkembang, orang memperdalam ilmu fikih, tapi sayang pengetahuannya hanya dari satu madzhab aliran tertentu saja, madzhab Syafi’i misalnya, hingga ia tidak tahu fikih dari aliran lain. Yang paling disayangkan berakhir pada kesan bahwa Islam identik dengan fikih. Pada waktu yang lain Islam hanya identik dengan tauhid saja atau tasawuf.
Karena Islam diidentikan dengan fikih, maka berbagai masalah diselesaikan dengan ilmu fikih. Akhir-akhir ini diramaikan oleh akibat buruk dari rokok, munculnya fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang “Rokok”, kemudian terbit fatwa bahwa merokok hukumnya haram dengan alasan dapat menimbulkan penyakit. Kemudian apakah persoalannya selesai, dan apakah fatwanya dipatuhi? Ternyata fatwa tersebut belum menyelesaikan masalah. Karena rokok terkait dengan banyak hal, misalnya tenaga kerja, ekonomi, kesehatan, bukan semata-mata urusan fikih. Maka menye-lesaikannya harus secara komprehensif melibatkan banyak pihak. Contoh di atas menggambarkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap Islam masih bersifat parsial belum utuh. Yang demikian boleh jadi akibat proses pengkajian Islam belum tersusun secara sistematis dan tidak disampaikan dengan pendekatan dan metode yang tepat.
Oleh karena itu Mukti Ali berpendapat bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertum-buhan ilmu. Metode diperlukan agar dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif (Abuddin Nata, 1998:98).
Pentingnya metodologi juga digambarkan oleh Abuy Sodikin (2000:6), Pertama, sebagaimana gagasan awal lahirnya bidang studi Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam untuk mengupayakan cara yang cepat dan tepat dalam mempelajari Islam. Kedua usaha untuk menampilkan kembali Islam yang memiliki sejumlah khasanah dan warisan intelektual dari masa lalu sampai sekarang. Dalam istilah Nurcholish Madjid (1995:4), agar dapat menja-wab tantangan untuk menampilkan kembali Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kemampuan menjawab tantangan ini, banyak tergantung kepada pemikiran dan cara berpikir umat Islam tentang agamanya, dengan pola pikir ilmiah yang islami. Hal ini tentu membutuhkan kemampuan metodologis dalam melakukan studi tentang Islam dalam berbagai dimensinya itu agar sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Ketiga, ajaran Islam sendiri menuntut dipelajari dan dipahami melalui prosedur yang tepat, yaitu memahami ruang lingkup dan isinya.
Masih berkaitan dengan signifikasi metodologi studi Islam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok (2000:7-8), menyimpul-kan bahwa umat Islam masih didominasi oleh pandangan yang eklusivisme. Suatu pandangan yang menganggap bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama atau madzhab aliran yang dianutnya, agama atau madzhab lain sebagai sesat dan perlu dijauhi bahkan dimusnahkan. Selanjutnya menurut Atang sikap eklusivisme dipandang wajar karena kalangan umat Islam Indonesia dulu dalam studi Islam tidak sistematis, tidak komprehensif alias tanpa metodologi yang tepat. Tapi apapun penyebabnya perlu ditekankan penting-nya merubah pandangan yang ekstrim dengan pandangan yang bijaksana dan memancarkan rahmat bagi semua. Tentu saja dimulai dari perubahan format dalam studi Islam.
Selanjutnya Atang (2000:8), mengutip pendapat Harun Nasution yang berpendapat bahwa persoalan yang menyang-kut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari segi etika dan moralitasnya kurang memadai. Senada dengan hal itu, Masdar F. Masudi berpendapat bahwa kesalahan umat Islam Indonesia ialah mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal budi. Sehingga orang terperangah ketika ada hasil survei mengungkapkan Indonesia termasuk salah satu negara korup di dunia. Sedangkan 90 persen penduduk Indonesia muslim dan pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar Islam. Selanjutnya Atang mengatakan signifikasi studi Islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghayatan keilmuan masyarakat muslim Indonesia sehingga:
a.Bentuk formalistik keagamaan Islam diubah menjadi bentuk agama yang substantif.
b.Sikap eklusivisme dirubah menjadi sikap inklusifisme dan atau sikap universalisme.
c.Melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam masyarakat yang heterogen.

Dengan demikian dapat dipahami, metodologi studi Islam adalah prosedur yang ditempuh dalam mempelajari Islam dengan cepat, tepat dan menyeluruh, yakni dari berbagai aspeknya dan berbagai alirannya. Karenanya MSI mempunyai arti penting dalam menempuh prosedur studi Islam yang dapat mengubah pemahaman masyarakat Muslim Indonesia dari pemahaman semula yang sempit menjadi pemahaman yang luas. Dari sikap yang ekstrim menjadi sikap yang toleran, bijaksana. Sikap toleran tidak berarti akidahnya lemah. Posisi akidah seperti dikatakan Ahmad Tafsir (2008: 63), dalam keseluruhan ajaran Islam sangat penting. Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara ber-keyakinan. Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan. Akidah perupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas akidah itulah keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan.
Karena kedudukan akidah demikian penting, maka akidah seseorang muslim harus kuat. Dengan kuat akidahnya akan kuat pula keislamannya secara keseluruhan. Untuk memper-kuat akidah perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua hal:
a.Mengamalkan keseluruhan ajaran Islam sesuai kemampuan secara sungguh-sungguh.
b.Mempertajam dan memperluas pengertian tentang ajaran Islam. Jadi, akidah dapat diperkuat dengan pengamalan, pengalaman dan pemahaman.


3.Objek Studi Islam
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa studi Islam atau Islamic Sudies adalah kajian ilmiah berkaitan dengan Islam, prosedur dalam memahami Islam secara ilmiah. Oleh karena itu, yang menjadi objek studi Islam adalah ajaran Islam itu sendiri dalam berbagai aspeknya dan berbagai madzhab alirannya. Ajaran Islam tidak hanya sebatas ibadah dalam arti sempit, tetapi meliputi interaksi sosial kemasyarakatan. Sejauh ini, umat Islam Indonesia menduga bahwa Islam hanya salat, zakat, puasa, haji dan dzikir. Di samping itu, sebagian kaum muslim masih menduga bahwa pemahaman Islam itu bersifat permanen, sehingga penafsiran atas ajaran Islam harus mengikuti penfsiran-penafsiran ulama, terutama ulama masa klasik.
Kalangan ahli belum sepakat tentang apakah studi agama Islam dapat dimasukan ke dalam kelompok ilmu pengetahu-an, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahu-an (sain) berbeda. Amin Abdullah (1996:106) misalnya, menyatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiah hanya mendengarkan dakwah keagamaan dalam kelas, apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di bangku kuliah. Menanggapi kritik tersebut, Amin Abdullah menyatakan bahwa pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies berakar pada kesulitan para agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas. Pada tataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, dari sisi normativitas studi Islam masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis kurang menonjol, kecuali di kalangan para peneliti yang jumlahnya terbatas. Sedangkan untuk tataran historisitas, yakni jika dilihat dari segi historis, Islam dalam arti yang dipraktekan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia justru telah menjadi ilmu pengetahuan Islam yaitu sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu Ke-Islaman atau Islmic Studies. (Abuddin Nata, 1998:102-103).
Untuk memantapkan studi Islam ini, perlu dipahami juga pemetaan ajaran Islam kepada beberapa kategori, misalnya dua wilayah, yaitu yang absolut-mutlak (sakral) dan Nisbiy-zhanniy (profan). Islam sebagai the original text bersifat mutlak dan absolut, sedangkan Islam yang berupa hasil pemikiran dan praktek umat Islam bersifat relatif-temporal, berubah sesuai dengan perubahan konteks zaman dan konteks sosial. Dengan demikian, yang menjadi obyek studi islam semua hal yang membicarakan tentang Islam, mulai dari level wahyu (nash), hasil pemikiran ulama hingga level praktek yang dilakukan masyarakat Muslim. Perbedaan-perbedaan studi Islam ini meniscayakan adanya perbedaan dalam menentukan pendekatan dan metode yang digunakan.
Jauh sebelum wacana di atas, Harun Nasution telah merancang objek kajian Islam yang membaginya menjadi beberapa aspek, melalui dua buah bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Dalam perkembangan berikutnya Studi Islam diarahkan pada delapan bidang sesuai dengan pengakuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1982 yakni meliputi: 1) Sumber ajaran yakni al-Quran dan Hadits, 2) Pemikiran Dasar Islam, yang meliputi Kalam, Falsafat dan tasawuf, 3) Fikih dan Pranata Sosial, 4) Sejarah Kebudayaan Islam, 5) Dakwah, (6) Pendidikan Islam, 7) Bahasa dan Sastera Arab, 8) Pembaharuan Pemikiran dalam Islam. Khusus nomor delapan sejak tahun 1997 direkomendasikan oleh kelompok pakar untuk dimasukan kedalam setiap bidang dari nomor 1 hingga nomor 7.

Pertemuan Ke I MSI

Pengantar Perkuliahan MSI

Mata kuliah metodologi studi Islam (MSI) adalah salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa Program Peningkatan Kualifi-kasi Akademik S.1 bagi guru MI dan PAI pada sekolah di lingkungan Kementerian Agama RI. Mata kuliah ini dimaksudkan untuk memberi bekal kepada mahasiswa sebgai pengantar studi agar memiliki pemahaman terhadap Islam secara komprehensif dari berbagai aspeknya, mengetahui berbagai metode dan pendekatan dalam mem-pelajari Islam.
Tujuan mempelajari mata kuliah ini agar mahasiswa memiliki pemahaman terhadap Islam secara komprehensif dalam berbagai aspeknya, mengetahui berbagai metode dan pendekatan dalam mempelajari Islam.
Mata kuliah ini difokuskan pada upaya mempelajari Islam secara efektif dan efisien sehingga mahasiswa dalam waktu yang relatif singkat memperoleh pengetahuan yang kompre-hensif tentang Islam. Untuk dapat mengetahui Islam secara komprehensif, Islam diidentifikasi terlebih dahulu menjadi tiga kategori, yaitu (1) Islam sebagai sumber ajaran berupa al-Quran dan Sunnah, (2) Islam sebagai hasil pemahaman terhadap sumber ajaran Islam, yang sudah mengambil bentuk disiplin ilmu keislaman seperti akidah, fikih, akhlak tasawuf dan filsafat, (3) Islam sebagai produk pengamalan.
Selanjutnya pembahasan dilanjutkan pada metode mem-pelajari Islam dari tiga kategori tersebut di atas.
Metodologi studi Islam berhubungan erat dengan mata kuliah yang lain, seperti mata kuliah Ulumul Quran, Tafsir, Ulumul Hadits, Hadits, Tauhid, Fikih, Akhlak-Tasawuf, Filsa-fat Islam dan Pembaharuan Pemikiran Islam. Namun demikian metodologi studi Islam pembahasannya berbeda dengan pembahasan mata kuliah tersebut di atas. Metodologi studi Islam diarahkan pada upaya mempelajari Islam. Tegasnya, metode dan pendektan mempelajari al-Quran, Sunnah, Fikih, Tauhid, Akhlak-Tasawuf, Filsafat Islam, dan pengamalan Islam, bukan mempelajari isinya. Jika di sana-sini terdapat pembahasan yang menyentuh mata kuliah yang lain, hanyalah sebagai contoh aplikasi metode mempelajari materi bukan mendalami materi.
Mata kuliah ini memiliki kegunaan teoritis dan praktis. Secara teoritis mahasiswa akan memiliki pengetahuan ten-tang Islam dengan komprehensif dalam berbagai aspeknya. Dengan demikian, pengetahuan tentang Islamnya menjadi luas dan dalam mempelajarinya menggunakan metode dan pendekatan yang relevan.
Secara praktis mahasiswa yang telah mempelajari metodologi studi Islam akan memiliki sikap dan pandangan yang luas tentang Islam, bersikap toleran terhadap pihak lain yang berbeda pendapat dan dapat menghargai pihak lain yang menggunakan metode dan pendekatan yang berbeda.

Materi Perkuliahan MSI Pertemuan ke III

1. Perkembangan Studi Islam di Dunia Barat
2. Perkembangan Studi Islam di Dunia Muslim
3. Perkembangan Studi Islam di Dunia Indonesia

Selasa, 21 September 2010

SAP Pendalaman PAI di Sekolah & Madrasah

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)

Mata Kuliah : Pendalaman PAI di Sekolah & Madrasah
Bobot SKS : 2 SKS
Jurusan : Kependidikan Islam (KI)
Semester : V (Lima)
Tahun Akademik : 2010/2011
Dosen/Ass.Dosen: Drs. Murip Yahya, M.Pd/Pepen Supendi, S.Pd.I.

Pertemuan I Orientasi Umum dan Informasi Mata Kuliah
Pertemuan II Konsep PAI di Sekolah
Pertemuan III Mata Pelajaran PAI di SMP
Pertemuan IV Mata Pelajaran PAI di SMA
Pertemuan V Mata Pelajaran al-Quran Hadis di MI
Pertemuan VI Mata Pelajaran al-Quran Hadis di MTs
Pertemuan VII Mata Pelajaran al-Quran Hadis di MA
Pertemuan VIII Ujian Tengah Semester (UTS)
Pertemuan IX Mata Pelajaran Akidah Akhlak di MTs
Pertemuan X Mata Pelajaran Akidah Akhlak di MA
Pertemuan XI Mata Pelajaran Fikih di MTs
Pertemuan XII Mata Pelajaran Fikih di MA
Pertemuan XIII Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di MTs
Pertemuan XIV Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di MA
Pertemuan XV Review Materi Perkuliahan
Pertemuan XVI Ujian Akhir Semester (UAS)

Daftar Bacaan
1. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
2. PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3. Permenag No. 2 Tahun 2008 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah
4. Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Rosdakarya, 2006.
5. Buku-buku Pendidikan Agama Islam untuk SD, SMP, dan SMA.
6. Buku-buku al-Quran Hadis, Akidah Akhlak, Fikih, SKI untuk MI, MTs, dan MA/MAK