Selasa, 28 September 2010

Pertemuan Ke II MSI

A.Orientasi Umum Metodologi Studi Islam
1.Pengertian MSI Secara Bahasa dan Istilah
Secara etimologi, metodologi berasal dari kata method dan logos. Method artinya cara dan logos artinya ilmu. Secara sederhana metodologi adalah ilmu tentang cara. Menurut Ahmad Tafsir (1995:9) metodologi adalah cara yang paling cepat dan tepat dalam melakukan sesuatu. Dalam hal ini ilmu tentang cara studi Islam. Abraham Kaflan yang dikutip Abuy Sodikin (2000:4), menjelaskan bahwa metodo-logi adalah pengkajian dengan penggambaran (deskripsi), penjelasan (explanasi) dan pembenaran (justifikasi).
Berdasarkan pendapat Kaflan di atas, metodologi meng-andung unsur-unsur, yaitu:
a.Pengkajian (study)
b.Penggambaran (deskripsi)
c.Penjelasan (ekplanasi)
d.Pembenaran (justifikasi)
Studi berasal dari bahasa Inggris, study artinya mempe-lajari atau mengkaji, yang berarti pengkajian terhadap Islam secara ilmiah, baik Islam sebagai sumber ajaran, pemaha-man, maupun pengamalan.
Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata salima dan aslama. Salima mengandung arti selamat, tunduk dan berserah. Aslama juga mengandung arti kepatuhan, ketundu-kan, dan berserah. Orang yang tunduk, patuh dan berserah diri kepada ajaran Islam disebut muslim, dan akan selamat dunia akhirat. Secara istilah, Islam adalah nama sebuah agama samawi yang disampaikan melalui para Rasul Allah, khususnya Rasulullah Muhammad SAW, untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Di Barat kajian Islam terkenal dengan Islamic Studies, yaitu usaha mendasar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk yang berhubungan dengan agama Islam, baik ajaran-ajarannya, sejarahnya, maupun praktek-praktek pelaksana-annya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sepanjang sejarahnya (Djamaluddin, 1999:127).
Metodologi studi Islam adalah prosedur yang ditempuh secara ilmiah, cepat dan tepat dalam mempelajari Islam secara luas dalam berbagai aspeknya, baik dari segi sumber ajaran, pemahaman terhadap sumber ajaran maupun sejarahnya.
Dalam metodologi Studi Islam terdapat prosedur ilmiah, sebagai ciri pokoknya, yang membedakan dengan studi Islam lainnya yang tanpa metodologi. Kegiatan pengajian misalnya, berbeda dengan kegiatan pengkajian. Pengajian adalah pro-ses memperoleh pengetahuan Islam yang bersifat normatif-teologis bersumber pada al-Quran dan Sunnah yang dipahami berdasarkan salah satu pemahaman tokoh madzhab tertentu. Hasilnya umat memperoleh dan mengamalkan pengeta-huan Islamnya sesuai dengan pemahaman madzhabnya. Benar dan salah diukur oleh pendapat madzhabnya. Dalam pengajian Islam tidak dibuka wacana dan pemahaman lain selain paham madzhabnya. Jika suatu kali menyentuh paham madzhab lain, tidak dibahas apalagi dipertimbangkan, akan tetapi segera dianggap sesuatu yang keliru, sesat, menyimpang dan tidak jarang dikafirkan. Umat nyaris tidak tahu ada banyak paham madzhab lain yang juga benar. Umat Islam pada umumnya hanya tahu bahwa Islam satu, yang benar itu satu yakni menurut madzhab tertentu. Di Indonesia dalam penga-jian itu umumnya kalau dalam bidang tauhid madzhabnya Asyariah/Ahlussunah waljamaah, bidang fikih madzhabnya Imam Syafi’i, bidang tasawuf madzhab suni bercorak amali. Pengajian biasanya diselenggarakan dalam majelis-majelis taklim dengan berbagai bentuknya, begitu juga kebanyakan madrasah dan pesantren dalam mempelajari Islam lebih mirip kegiatan pengajian ketimbang pengkajian.
Kelebihan dari pengajian, umat memperoleh pengetahu-an yang simpel, sederhana dan merasa mantap dengan peng-etahuan yang diperolehnya.
Adapun kelemahannya amat banyak yaitu antara lain:
a.Umat pengetahuannya terbatas hanya pada satu madzhab tertentu, padahal masih terdapat banyak madzhab yang lain, yang boleh jadi lebih relevan.
b.Umat menjadi kaku ketika berhadapan dengan umat lain yang berbeda madzhab. Mereka mengira hanya ada satu madzhab dan hanya madzhabnya saja yang benar.
c.Umat tidak memiliki pilihan alternatif pemikiran sesuai dengan perkembangan tempat dan zaman yang perkembangannya sangat dinamis.

Berbeda dengan pengajian Islam, pengkajian Islam adalah proses memperoleh pengetahuan Islam yang disam-ping bersifat normatif-teologis, juga bersifat empiris dan historis dengan prosedur ilmiah. Islam dikaji dari berbagai aspeknya seperti aspek ibadah dan latihan spritual, teologi, filsafat, tasawuf, politik sejarah kebudayaan Islam dan lain-lain. Pada setiap aspek dikaji aliran dan madzhab-madzhab-nya. Sehingga Islam yang satu nampak memiliki ajaran yang banyak jenisnya dan tiap jenis ajaran memiliki ajaran spesifik dari berbagai madzhab atau aliran. Dengan demikian Islam yang satu memiliki ragam ajaran, ragam pemahaman dan ragam kebenaran. Dengan mengetahui Islam dari berbagai aspeknya dan dari berbagai madzhab dan alirannya melalui metode yang sistematis, seseorang akan memiliki pengetahu-an Islam yang komprehensif.
Kajian Islam seperti ini, biasanya diselengarakan di Perguruan Tinggi Islam dan lembaga-lembaga kajian keisla-man. Kelebihan kajian Islam antara lain:
a.Memberikan wawasan yang luas tentang Islam baik dari segi aspek-aspek ajarannya maupun dari segi aliran-aliran pemikirannya.
b.Umat akan memiliki sikap pleksibel jika berhadapan dengan pihak lain yang berbeda aliran madzhabnya, bahkan berbeda agamanya.
c.Umat akan memiliki banyak alternatif untuk menganut salah satu pemikiran, madzhab atau pemahaman yang dianggap lebih sesuai dan meyakin-kan jiwa dan pikirannya sesuai dengan situasi, tempat dan zaman yang selalu berkembang dinamis. Selain itu umat Islam akan semakin toleran terhadap pihak lain yang berbeda pendapat.

2.Signifikasi Metodologi Studi Islam
Hingga sekarang umat Islam Indonesia masih banyak yang beranggapan bahwa Islam, agama yang bersifat sempit. Anggapan ini timbul karena salah dalam mengartikan hakikat Islam. Kekeliruan itu terjadi karena pengajian tadi, dan kurikulum pendidikan hanya menekankan pada aspek ibadah, tauhid, al-Quran dan Sunnah. Itupun mengajarkannya hanya menurut satu madzhab dan aliran saja, jadi identik dengan pengajian Islam.
Sebetulnya ada juga orang yang pengetahuannya cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tersusun secara sistematis. Hal yang demikian menurut Abudin Nata (1998:95), karena orang yang bersangkutan ketika menerima ajaran Islam tidak sistematik dan terkoordinasi. Biasanya mereka belajar ilmu dari berbagai guru, namun antara satu guru dengan guru lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak memiliki satu acuan yang sama semacam kurikulum, akibatnya tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai pengetahuan yang dipelajarinya.
Di masyarakat Indonesia juga ditemukan orang yang penguasaannya terhadap salah satu bidang keilmuan cukup mendalam tetapi kurang memahami bidang keilmuan Islam yang lainnya. Pada satu waktu ilmu fikih berkembang, orang memperdalam ilmu fikih, tapi sayang pengetahuannya hanya dari satu madzhab aliran tertentu saja, madzhab Syafi’i misalnya, hingga ia tidak tahu fikih dari aliran lain. Yang paling disayangkan berakhir pada kesan bahwa Islam identik dengan fikih. Pada waktu yang lain Islam hanya identik dengan tauhid saja atau tasawuf.
Karena Islam diidentikan dengan fikih, maka berbagai masalah diselesaikan dengan ilmu fikih. Akhir-akhir ini diramaikan oleh akibat buruk dari rokok, munculnya fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) tentang “Rokok”, kemudian terbit fatwa bahwa merokok hukumnya haram dengan alasan dapat menimbulkan penyakit. Kemudian apakah persoalannya selesai, dan apakah fatwanya dipatuhi? Ternyata fatwa tersebut belum menyelesaikan masalah. Karena rokok terkait dengan banyak hal, misalnya tenaga kerja, ekonomi, kesehatan, bukan semata-mata urusan fikih. Maka menye-lesaikannya harus secara komprehensif melibatkan banyak pihak. Contoh di atas menggambarkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap Islam masih bersifat parsial belum utuh. Yang demikian boleh jadi akibat proses pengkajian Islam belum tersusun secara sistematis dan tidak disampaikan dengan pendekatan dan metode yang tepat.
Oleh karena itu Mukti Ali berpendapat bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertum-buhan ilmu. Metode diperlukan agar dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif (Abuddin Nata, 1998:98).
Pentingnya metodologi juga digambarkan oleh Abuy Sodikin (2000:6), Pertama, sebagaimana gagasan awal lahirnya bidang studi Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam untuk mengupayakan cara yang cepat dan tepat dalam mempelajari Islam. Kedua usaha untuk menampilkan kembali Islam yang memiliki sejumlah khasanah dan warisan intelektual dari masa lalu sampai sekarang. Dalam istilah Nurcholish Madjid (1995:4), agar dapat menja-wab tantangan untuk menampilkan kembali Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kemampuan menjawab tantangan ini, banyak tergantung kepada pemikiran dan cara berpikir umat Islam tentang agamanya, dengan pola pikir ilmiah yang islami. Hal ini tentu membutuhkan kemampuan metodologis dalam melakukan studi tentang Islam dalam berbagai dimensinya itu agar sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Ketiga, ajaran Islam sendiri menuntut dipelajari dan dipahami melalui prosedur yang tepat, yaitu memahami ruang lingkup dan isinya.
Masih berkaitan dengan signifikasi metodologi studi Islam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok (2000:7-8), menyimpul-kan bahwa umat Islam masih didominasi oleh pandangan yang eklusivisme. Suatu pandangan yang menganggap bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama atau madzhab aliran yang dianutnya, agama atau madzhab lain sebagai sesat dan perlu dijauhi bahkan dimusnahkan. Selanjutnya menurut Atang sikap eklusivisme dipandang wajar karena kalangan umat Islam Indonesia dulu dalam studi Islam tidak sistematis, tidak komprehensif alias tanpa metodologi yang tepat. Tapi apapun penyebabnya perlu ditekankan penting-nya merubah pandangan yang ekstrim dengan pandangan yang bijaksana dan memancarkan rahmat bagi semua. Tentu saja dimulai dari perubahan format dalam studi Islam.
Selanjutnya Atang (2000:8), mengutip pendapat Harun Nasution yang berpendapat bahwa persoalan yang menyang-kut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari segi etika dan moralitasnya kurang memadai. Senada dengan hal itu, Masdar F. Masudi berpendapat bahwa kesalahan umat Islam Indonesia ialah mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal budi. Sehingga orang terperangah ketika ada hasil survei mengungkapkan Indonesia termasuk salah satu negara korup di dunia. Sedangkan 90 persen penduduk Indonesia muslim dan pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar Islam. Selanjutnya Atang mengatakan signifikasi studi Islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman dan penghayatan keilmuan masyarakat muslim Indonesia sehingga:
a.Bentuk formalistik keagamaan Islam diubah menjadi bentuk agama yang substantif.
b.Sikap eklusivisme dirubah menjadi sikap inklusifisme dan atau sikap universalisme.
c.Melahirkan suatu masyarakat yang siap hidup toleran dalam masyarakat yang heterogen.

Dengan demikian dapat dipahami, metodologi studi Islam adalah prosedur yang ditempuh dalam mempelajari Islam dengan cepat, tepat dan menyeluruh, yakni dari berbagai aspeknya dan berbagai alirannya. Karenanya MSI mempunyai arti penting dalam menempuh prosedur studi Islam yang dapat mengubah pemahaman masyarakat Muslim Indonesia dari pemahaman semula yang sempit menjadi pemahaman yang luas. Dari sikap yang ekstrim menjadi sikap yang toleran, bijaksana. Sikap toleran tidak berarti akidahnya lemah. Posisi akidah seperti dikatakan Ahmad Tafsir (2008: 63), dalam keseluruhan ajaran Islam sangat penting. Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara ber-keyakinan. Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan. Akidah perupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas akidah itulah keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan.
Karena kedudukan akidah demikian penting, maka akidah seseorang muslim harus kuat. Dengan kuat akidahnya akan kuat pula keislamannya secara keseluruhan. Untuk memper-kuat akidah perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua hal:
a.Mengamalkan keseluruhan ajaran Islam sesuai kemampuan secara sungguh-sungguh.
b.Mempertajam dan memperluas pengertian tentang ajaran Islam. Jadi, akidah dapat diperkuat dengan pengamalan, pengalaman dan pemahaman.


3.Objek Studi Islam
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa studi Islam atau Islamic Sudies adalah kajian ilmiah berkaitan dengan Islam, prosedur dalam memahami Islam secara ilmiah. Oleh karena itu, yang menjadi objek studi Islam adalah ajaran Islam itu sendiri dalam berbagai aspeknya dan berbagai madzhab alirannya. Ajaran Islam tidak hanya sebatas ibadah dalam arti sempit, tetapi meliputi interaksi sosial kemasyarakatan. Sejauh ini, umat Islam Indonesia menduga bahwa Islam hanya salat, zakat, puasa, haji dan dzikir. Di samping itu, sebagian kaum muslim masih menduga bahwa pemahaman Islam itu bersifat permanen, sehingga penafsiran atas ajaran Islam harus mengikuti penfsiran-penafsiran ulama, terutama ulama masa klasik.
Kalangan ahli belum sepakat tentang apakah studi agama Islam dapat dimasukan ke dalam kelompok ilmu pengetahu-an, mengingat sifat dan karakteristik antara ilmu pengetahu-an (sain) berbeda. Amin Abdullah (1996:106) misalnya, menyatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiah hanya mendengarkan dakwah keagamaan dalam kelas, apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di bangku kuliah. Menanggapi kritik tersebut, Amin Abdullah menyatakan bahwa pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies berakar pada kesulitan para agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas. Pada tataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, dari sisi normativitas studi Islam masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis kurang menonjol, kecuali di kalangan para peneliti yang jumlahnya terbatas. Sedangkan untuk tataran historisitas, yakni jika dilihat dari segi historis, Islam dalam arti yang dipraktekan oleh manusia serta tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia justru telah menjadi ilmu pengetahuan Islam yaitu sebuah disiplin ilmu, yakni ilmu Ke-Islaman atau Islmic Studies. (Abuddin Nata, 1998:102-103).
Untuk memantapkan studi Islam ini, perlu dipahami juga pemetaan ajaran Islam kepada beberapa kategori, misalnya dua wilayah, yaitu yang absolut-mutlak (sakral) dan Nisbiy-zhanniy (profan). Islam sebagai the original text bersifat mutlak dan absolut, sedangkan Islam yang berupa hasil pemikiran dan praktek umat Islam bersifat relatif-temporal, berubah sesuai dengan perubahan konteks zaman dan konteks sosial. Dengan demikian, yang menjadi obyek studi islam semua hal yang membicarakan tentang Islam, mulai dari level wahyu (nash), hasil pemikiran ulama hingga level praktek yang dilakukan masyarakat Muslim. Perbedaan-perbedaan studi Islam ini meniscayakan adanya perbedaan dalam menentukan pendekatan dan metode yang digunakan.
Jauh sebelum wacana di atas, Harun Nasution telah merancang objek kajian Islam yang membaginya menjadi beberapa aspek, melalui dua buah bukunya yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Dalam perkembangan berikutnya Studi Islam diarahkan pada delapan bidang sesuai dengan pengakuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1982 yakni meliputi: 1) Sumber ajaran yakni al-Quran dan Hadits, 2) Pemikiran Dasar Islam, yang meliputi Kalam, Falsafat dan tasawuf, 3) Fikih dan Pranata Sosial, 4) Sejarah Kebudayaan Islam, 5) Dakwah, (6) Pendidikan Islam, 7) Bahasa dan Sastera Arab, 8) Pembaharuan Pemikiran dalam Islam. Khusus nomor delapan sejak tahun 1997 direkomendasikan oleh kelompok pakar untuk dimasukan kedalam setiap bidang dari nomor 1 hingga nomor 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar