Selasa, 28 September 2010

Pertemuan Ke III MSI

1. Perkembangan Studi Islam
Perkembangan studi Islam terkait erat dengan perkem-bangan pendidikan Islam yang membahas kurikulum dan ke-lembagaannya baik di dunia Islam, dunia Barat maupun di Indonesia sendiri.
Bahan bagian ini diadaptasi dari Pengantar Studi Islam Hadidjah dan M. Karman al-Kuninganiy (2008:11-21).

a.Studi Islam di Dunia Islam
Dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih dikenal dengan nama al-jami’ah, yang secara historis dan kelembagaan berkaitan dengan masjid jami’ (tempat berkumpul jama’ah untuk menunaikan shalat Jum’at) (Munir ud-Din Ahmed, 2002:8). Al-Jami’ah yang paling awal dengan pretensi sebagai lembaga pendidikan tinggi, tercatat Al-Azhar di Kairo, Zaituna di Tunis, dan Qarawiyyin di Fez. Tetapi, al-jami’ah-al-jami’ah ini yang diakui sebagai universitas tertua di muka bumi, hingga dilakukannya pembaharuan dalam beberapa dasawarsa silam, lebih tepat disebut “madrasah tinggi” dari pada “universitas”.
Azyumardi Azra juga mencatat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik madrasah (sekalipun menyelenggarakan pendidikan tingkat tinggi, advanced education), maupun al-jami’ah, yang memang dimaksudkan sebagai pendidikan tinggi, tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penelitian bebas berdasarkan nalar, sebagaimana terdapat di Eropa pada masa modern. Bahkan, universitas di Eropa yang akar-akarnya dapat dilacak dari al-jami’ah, seperti ditegaskan Stanton berdasarkan penelitian al-Makdisi (1981 dan 1990) hingga abad ke-18, juga tidak bebas sepenuhnya. Universitas abad pertengahan, bahkan pada umumnya berafiliasi dan terkait kepada gereja.
Sepanjang sejarah Islam, baik madrasah maupun al-jami’ah diabdikan, terutama untuk ilmu-ilmu agama dengan penekanan pada bidang fikih, tafsir dan hadis. Ijtihad, walaupun diberikan ruang gerak, tetapi tidak dimaksudkan berpikir sebebas-bebasnya, kecuali sekedar memberikan penafsiran “baru” atau pemikiran “independen” yang tetap berada dalam kerangka doktrin yang mapan dan disepakati. Dengan demikian, ilmu-ilmu non agama, terutama yang eksakta yang merupakan akar pengembangan sains dan teknologi sejak awal telah termarjinalkan (Khozin, 2001:56). Kondisi seperti ini berbeda dengan dasar Islam yang tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan non agama. Al-Ghazali (1085-1111M) disebut-sebut sebagai “yang bertanggungjawab” memisahkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu non agama. Menuntut ilmu agama wajib bagi setiap Muslim, sedangkan wajib kifayah untuk menuntut ilmu-ilmu umum.
Sebenarnya, sebelum kehancuran Mu’tazilah pada masa Makmun (198-218/813-833), ilmu umum yang berlandaskan kajian-kajian empiris telah dipelajari di madrasah. Dengan kesan mencurigai ilmu-ilmu umum yang berbasiskan nalar itulah maka ilmu-ilmu tersebut dihapuskan dari madrasah. Para peminat kepada ilmu-ilmu umum tersebut akhirnya belajar sendiri-sendiri, karena ilmu-ilmu agama dipandang sebagai yang dapat menggugat kemapanan doktrin sunni, terutama dalam bidang kalam dan fikih. Jadi, pada masa sebelum khalifah al-Makmun, sains mencapai puncaknya, hampir dipastikan bukan mucul dari madrasah, tetapi hasil kegiatan ilmiah individu-individu ilmuwan Muslim yang disemangati oleh scientific inquiry (penyelidikan ilmiah) untuk membuk-tikan kebenaran-kebenaran Alquran, terutama yang bersifat kauniyah (kealaman).
Menurut catatan sejarah, ada empat perguruan tinggi yang disebut-sebut sebagai kiblat bagi pengembangan studi Islam di dunia Muslim, yang selanjutnya diikuti oleh para orientalis dalam studi Islam di kalangan sarjana Barat. Pertama, Madrasah Nizhamiyah di Nisyafur. Madrasah ini, menurut Ibnu Khalikan (w. 681-1282) dibangun oleh Nizham al-Mulk untuk al-Juwaini, tokoh Asy’ariah, dan sekaligus guru besar di madrasah ini selama tiga dekade hingga wafatnya pada 478/1085 (Hasan Asari, 1994:57). Madrasah ini terdiri dari tiga bagian inti, gedung madrasah, masjid dan perpustakaan (bayt al-maktab). Madrasah ini memiliki beberapa staff, yaitu seorang guru besar (mudarris) yang bertanggung-jawab atas pelaksanaan pengajaran, seorang ahli Alquran (muqri’), ahli hadis (muhaddits), dan pengurus perpusta-kaan, yang bertanggungjawab terhadap tugasnya masing-masing. Tercatat nama-nama seperti al-Juwaini, Abu al-Qasim, al-Kiya al-Harrasi, al-Ghazali dan Abu Sa’id sebagai mudarris, Abu al-Qasim, al-Hudzali dan Abu Nasyar al-Ramsyi sebagai muqri’, Abu Muhammad al-Samarqandi sebagai muhaddits, dan Abu Amir al-Jurjani sebagai pustakawan. Al-Ghazali pernah tercatat sebagai asisten al-Juwaini.
Kedua, madrasah di Baghdad berdiri tahun 455/1063 yang dibangun oleh khalifah al-Makmun (813-833 M), yang dilengkapi dengan perpustakaan termasyur, Bayt al-Hikmah. Berbeda dengan madrasah Nizhamiyyah di Nisyafur, di Baghdad tidak memiliki masjid. Sebagai madrasah terbesar di zamannya, madrasah ini diajar oleh para guru besar yang memiliki reputasi tinggi, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476/1083), al-Kiya al-Harasi, dan al-Ghazali (1058-1111 M) yang tercatat sebagai pemikir terbesar dengan sebutan Imam al-Ghazali dan pengaruh-nya cukup kuat di Timur. Madrasah yang beridiri hampir dua abad ini akhirnya hancur, sekaligus melambangkan kehancuran Islam pada masa pemerin-tahan Abbasiah, setelah Hulagu Khan (1256-1349 M) melakukan penyer-buan besar-besaran ke Baghdad.
Ketiga, Universitas Al-Azhar di Kairo. Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir ini tidak terlepas dari eksistensi Abbasiah-Syiah yang pengaruh kekuatan politiknya mulai melemah. Di sinilah wilayah-wilayah kekuasaan Daulat Ababsiah seperti Thahiriyah, Safawiyah, Samawiyah, Thuluniyah, Fathimiyah, Ghaznawiah, dan lain-lain menuntut otonomisasi. Daulah Fathimiyah (909-1171 M) misalnya, segera bangkit di Tunis. Ubaidillah al-Mahdi diangkat sebagai khalifah pertama Fathimiyah yang beraliran Syiah. Pada masa pemerintahan Muiz li Dinillah (952-975 M), khalifah IV dari Fathimiyah, Lybia dan Mesir berhasil ditaklukkan di bawah panglima besarnya, Jauhar al-Siqili (362 H/972 M) dari Daulah Abbasiah, yang dikenal sebagai pendiri ibukota baru Mesir, Kairo (dulu Fustat). Kemudian ibu kota Syria dipindahkan dari Tunis ke Kairo, Mesir. Al-Siqili pula yang membangun perguruan tinggi Al-Azhar berdasarkan ajaran sekte Syiah. Selanjutnya, pada masa khalifah al-Hakim bin Amrillah (996-1020 M), dibangun perpusatakaan terbesar di Kairo, Bait al-Hikmah, yang disebut-sebut sebagai corong propaganda kesyiahan. Konon, al-Hakim mengeluarkan dana 275 dinar untuk menggandakan manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum yang dikembangkan lebih banyak ber-orientasi pada masalah-masalah keislaman, astronomi dan kedokteran. Ali Ibn Yunus, Ali al-Hasan, dan Ibnu al-Haitam, tercatat sebagai tokoh yang mengembangkan ilmu astronomi. Dalam masa ini kurang lebih seratus karya tentang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan. Bahkan, pada masa al-Muntasir, terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku. Pada tahun 567 H/1171 M, Shalahuddin al-Ayyubi (1171-1193 M) berhasil merebut Daulah Fathimi-yah dan mendirikan Daulat Ayubiyyah (1171-1269 M) dan menyatakan tunduk kembali kepada Abbasiah. Al-Azhar saat itu beralih kurikulum dan orientasi Syi’ah ke Sunni, tetapi Al-Azhar tetap berdiri tegak hingga abad ke-21 ini.
Di Universitas Al-Azhar ini, rektor (syekh Al-Azhar), selain merupakan jabatan akademis, juga merupakan kedudukan politis yang berwibawa vis avis kekuasaan politik. Tetapi, sejak Dinasti Usmaniah (1517-1798) pamor Al-Azhar mulai menurun, sehingga Muhammad Ali mengintervensi Al-Azhar dalam membenahi Al-Azhar sejak paroh abad ke-19. Kenyataan ini pula yang membawa preseden lenyapnya “independensi” Al-Azhar sebagai lembaga akademis, yang pada gilirannya mempengaruhi otoritas dan pamornya, terutama dalam hubungannya dengan kekuasaan politik hingga kini.
Keempat, Universitas Cordova, Pemerintahan Abdur-rahman I dipandang sebagai tonggak kemajuan ilmu dan kebudayaan di Cordova. Sejarah mencatat bahwa Aelhoud dari Bath (Inggris) belajar di Cordova pada tahun 1120 M yang mendalami geometri, al-Jabar dan matematika.

b.Studi Islam di Dunia Barat
Kejayaan Islam dalam konteks ilmu pengetahuan telah menjadikan perguruan tinggi Islam “dibanjiri” para mahasiswa dari berbagai kalangan, termasuk mereka yang kemudian menjadi tokoh-tokoh atau pemikir Barat. Inilah kontrak pertama dunia Barat dengan dunia Islam (Muslim). Perguruan tinggi terkenal dalam masa kejayaan antara lain perguruan tinggi yang berpusat di Irak (dunia Muslim belahan Timur) dan Mesir serta Cordova (di dunia Muslim belahan Barat). Inilah awal kebangkitan (renai-sance) Barat yang secara perlahan mencapai kemajuan yang gemilang.
Kemajuan Barat juga tidak terlepas dari kegiatan penerjemahan manuskrip-manuskrip berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin sejak abad ke-13 M hingga masa ranaisance di Eropa abad ke-14 oleh para ilmuan Barat, termasuk tentunya orientalis. Kegiatan penerjemahan tersebut mendapat dukungan Kaisar Dinasti Romawi (1198-1212), Raja Frederick dari Sicilia. Kegigihan sang raja akhirnya membuahkan hasil dengan terbangunnya beberapa perguruan tinggi di Italia, seperti Padua, Florence, Milano, Venezia, disusul oleh Oxford dan Cambride di Inggris, Sorbone di Perancis, dan Tubingen di Jerman. Bidang filsafat merupakan yang paling menonjol dari kegiatan penerjemahan manuskrip tersebut, sehingga lahirlah aliran Skolastik, aliran Rasionalisme, aliran Emphirisme, dan lain-lain. Kegiatan penerjemahan ini telah membuka Barat mengembangkan penelitian mereka dalam bidang ilmu pengetahuan di Barat. Francirs Bacon (1561-1626) telah megilhami para sarjana Barat dalam kegiatan observasi dan eksperimen, terutama karyanya Novu Organon.
Tercatat tokoh yang mengembangkan ilmu pengetahu-an dari penerjemahan manuskrip Arab tersebut Gerbert d’Auvergne (999-1003 M) dalam bidang kedokteran dan matematika di abad ke-11 M. Pada pertengahan abad ke-12 M dibentuk semacam kelompok penerjemah yang diketuai oleh Archdeacon Dominicues Gundasalvi. Kelom-pok ini untuk pertama kalinya menerjemahkan humpunan komentas Ibnu Sina dan al-Ghazali dalam bahasa Latin. Karya Ibnu Sina untuk pertama kalinya diterjemahkan dalam bidang kedokteran berjudul Canon of Medicine oleh Cromena (w. 1187 M). Tetapi usaha penerjemahan baru berlangsung secara intensif pada masa Raja Frederik II (1212-1250 M)m yang menetap di Palermo, ibukota Sicilia. Di Palermo, Raja Frederik II mengumpulkan para sarjana Yahudi untuk pentingan penerjemahan, kemudia sarjana Kristen yang mendalami bahasa Arab. Bahkan, Frederik II ini memberikan fasilitas khusus kepada Michael Scot (1175-1234 M) yang menerjemahkan buku karya Averrous (Ibnu Rusyd) dan Hermanus Allemanus yang menerjemahkan karya-karya al-Farabes (al-Farabi). Hermanus Allemanus ini juga menerjemahkan Retorica, terjemahan karya Aristo (384-322 M) di dalam bahasa Arab serta menerjemahkan Poetic dan Ethica karya Avverous yang merupakan terjemahan karya Aristo.
Setelah ilmu pengetahuan Islam (Muslim) ‘migran’ ke Barat dan dikembangkan oleh para sarjana mereka, ternyata banyak ajaran Islam yang menyimpang dari ajaran sebenarnya, karena telah dirasuki oleh paham sekuler. Inilah yang menyebabkan para sarjana Muslim melakukan upaya pemurnian ajaran. Ismail Raji al-Faruqi, Naquib al-Attas, Ali Ashraf, Ziauddin Sardar dan lain-lain, terpanggil untuk upaya ini. Tokoh-tokoh ini menawarkan gagasan Islamisasi pengetahuan, yakni melakukan penulisan ulang terhadap ilmu-ilmu modern (produk Barat) dan menanggalkan ciri-ciri sekularismenya. Upaya lainnya mendirikan universitas-universitas Islam seperti yang terjadi di Pakistan, International Islamic University, di Washington DC, Islamic of Advanced Studies, atau The International Institut of Islamic Thought and Civilization (biasa disebut ISTAC) yang dipelopori oleh Naquib al-Attas.
Dalam perkembangan selanjutnya, studi Islam di Barat sedikit bervariasi. Di Chicago University, studi Islam menekankan pada bidang pemikiran Islam, bahasa Arab, naskah klasik dan bahasa-bahasa Islam non Arab. Studi Islam tersebut berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa dan Kebudayaan Timur Dekat, di Amerika, studi Islam pada umumnya menekankan pada studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial, yang berada di bawah Pusat Studi Timur Tengah atau Timur Dekat. Di UCLA, studi Islam dibagi empat komponen. Pertama, mengenai doktrin dan sejarah Islam, termasuk pemikiran Islam. Kedua, bahasa Arab dan teks-teks klasik mengenai sejarah, hukum dan lain-lain. Ketiga, bahasa-bahasa non Arab yang muslim, seperti Urdu, Persia, Turki, bahasa yng telah menghantarkan kebudayaan. Keempat, ilmu-ilmu sosial, sejarah bahasa Arab, bahasa-bahasa Islam, sosiologi dan lain-lain.
Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies, fakultas mengenai studi Ketimuran dan Afrika, yang memiliki berbagai jurusan Bahasa dan Kebudayaan Asia dan Afrika. Salah satu program studi di dalamnya program MA tentang masyarakat dan budaya Islam yang dapat dilanjutkan ke jenjang doktor. Di Kanada studi Islam menekuni kajian budaya dan peradaban Islam di zaman Nabi Muhammad hingga masa kontemporer, memahami ajaran Islam dan masyarakat Muslim di seluruh dunia, dan mempelajari bebagai bahasa Muslim, seperti bahasa Persia, Urdu, dan Turki. Sedangkan di Belanda, yang dulunya menganggap tabu mempelajari Islam, ternyata masih menyisakan kajian Islam di Indonesia, walaupun tidak menekankan pada aspek sejarah Islam itu sendiri.
c.Studi Islam di Indonesia
Perkembangan studi Islam di Indonesia dapat dilihat dari perkembangan lembaga pendidikan, mulai dari sistem pendidikan langgar, sistem pesantren, sistem pendidikan di kerajaan-kerajaan Islam, hingga munculnya sistem kelas. Pendidikan pesantren dan madrasah sangat menonjol dalam studi Islam di Indonesia.
Di samping pesantren, perguruan tinggi Islam tentu menjadi sebuah lembaga paling diminati untuk studi Islam secara komprehensif. Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, seperti STAIN dan IAIN, dapat dijadikan ruju-kan bagi pengembangan studi Islam. Munculnya gagasan pendirian perguruan tinggi Islam seperti IAIN/STAIN tidak terlepas dari kesadaran kaum Muslim yang dilatarbelaka-ngi berbagai faktor. Pertama, untuk mengakomodasi kalangan yang tidak memiliki kesem-patan melanjutkan ke Timur Tengah. Kedua, keingingan untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam sebagai kelanjutan pesantren dan madrasah. Keingingan untuk menyeimbangkan jumlah kaum terpelajar tamatan sekolah “sekuler” dengan tamatan sekolah agama. Gagasan ini datang dari kalangan agamawan, juga muncul dari kalangan terpelajar Muslim tamatan sekolah “sekuler” (Husni Rahim, 2001:178). Dr. Satiman termasuk yang mengusulkan gagasan perguruan tinggi Islam ini. Ia sempat mendirikan Yayasan Pesantren Luhur tahun 1938, yang kandas karena ada intervensi pihak penjajah. Di Sumatera Barat, pada tahun 1940, sejumlah guru Muslim mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) walaupun hanya bertahan dua tahun karena pendu-dukan Jepang. Upaya yang sama dilakukan oleh tokoh-tokoh nasional seperti Muhammad Hatta, Muhammad Natsir, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Mas Mansyur. Pada 8 Juli 1945 tokoh-tokoh tersebut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta di bawah pimpinan Kahar Mudzakir. Ketika revolusi kemerdekaan, STI berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengembangkan empat fakultas, yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Pendidikan.
Lembaga pendidikan tinggi Islam tersebut, secara formal, baru direalisasikan oleh pemerintah pada tahun 1950 di Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, pemerintah mengubah status Universitas Gadjah Mada menjadi universitas negeri sesuai dengan PP No. 37/1950 yang dibentuk bagi golongan nasionalis. Pada saat yang sama, kepada kelompok Islam diberikan perguruan tinggi agama Islam (PTAIN) dengan mengubah status Fakultas Agama UII. Tidak berselang lama Departemen Agama mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDA) di Jakarta pada 1 Juli 1957, sebagai lembaga yang dipersiapkan untuk mendidik pegawai negeri dengan kemampuan akademik dan semi akademik tingkat diploma sebagai guru agama di SLTP (Husni Rahim, 2001:178).
Jumlah mahasiswa PTAIN dalam satu dekade semakin banyak, termasuk yang datang dari negeri tetangga, Malaysia. Berdasarkan perkembangan-perkembangan itu-lah dan pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat akademis, pada 24 Agustus 1960, presiden mengeluarkan PP No. 11 yang menggabungkan PTAIN dan AIDA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sejak itulah secara berturut-turut di beberapa wilayah propinsi Indonesia berdiri IAIN sebagai sarana bagi masyarakat Muslim untuk mendapatkan pendidikan tinggi.
Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, orientasi kelembagaan dan kurikulum perguruan tinggi Islam tersebut mengalami berbagai inovasi. Tetapi, inovasi tersebut belum diimbangi oleh ketersediaan dosen ahli (expert) dalam bidang ilmunya. Sebagaimana dikatakan Atho Mudzhar, bahwa dalam upaya mengem-bangkan perguruan tinggi untuk masa depan, hal yang perlu dibenahi antara lain, memposisikan disiplin ilmu mana yang termasuk ilmu inti dan mana yang termasuk ilmu bantu. Sejauh ini, beberapa IAIN/STAIN belum mampu memetakan berbagai ilmu ke dalam dua kategori tersebut. Di sini diperlukan dosen yang ahli (expert) dalam bedah ilmu Bantu, seperti Sosiologi Agama, Filosofi Agama, Psikologi Agama, dan sebagainya. Beberapa IAIN/STAIN telah mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu (interdisip-liner), tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan, tetapi menca-kup ilmu-ilmu eksakta, sosial, humaniora, dan lain-lain. Di samping itu, beberapa IAIN/STAIN telah membuka program studi umum, dan bahkan fakultas umum.
Tampaknya IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, IAIN Sunan Gunung Djati di Bandung, IAIN Alauddin di Makassar, dan STAIN Malang, di Jawa Timur, telah lebih maju mengembangkan berbagai disiplin ilmu daripada IAIN/STAIN lainnya di Indonesia. Studi Islam intersipliner di beberapa IAIN/STAIN tersebut mendorong lembaga-lembaga tersebut menjadi universi-tas, yang mempelajari bukan hanya ilmu agama, sebagai-mana yang dikesani orang selama ini, tetapi juga ilmu-ilmu umum (profan). Dengan demikian, sehingga tahun 2007, telah tercatat enam Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia, yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Islam Negeri Malang, dan Universitas Negeri Alauddin Makassar.

2 komentar: