KORUPSI DAN PENDIDIKAN
Oleh: Dr. Pepen Supendi, M.Ag.
Pengantar
Hasil survey dari Internasional Country
Risk Guide Index (ICRGI), sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra (2003)
bahwa sejak tahun 1992 hingga 2000: (a) Indeks korupsi Indonesia yang mayoritas
agama Islam terus meningkat dari sekitar 7 menjadi hampir 9 (tahun 2000).
Bahkan menurut hasil studi PERC (The Political and Economic Risk Consultancy)
tahun 2004 tentang Corruption Country, Indonesia berada pada
rengking pertama se-Asia, dengan indeks 9,25, dan pada tahun 2005
meningkat menjadi 9, 4; (b) Di Rusia yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan
indeks hampir 9 pada tahun 2000; (c) Pakistan, Banglades dan Nigeria yang
mayoritas penduduk Muslim, memiliki indeks korupsi rata-rata di atas 7; (d) Argentina,
Meksiko, Filipina atau Kolombia yang berpenduduk mayoritas Kristiani, indeks
korupsinya juga di atas 7; (e) Thailand yang mayoritas penduduknya Budha,
indeks korupsinya hampir mencapai 8; (f) Sedangkan, di Iran, Arab Saudi, Syria
atau Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim, indeks korupsinya jauh lebih
rendah dibandingkan Indonesia dan Pakistan.
Bertolak dari hasil survei di atas, dapat
disimpulkan bahwa tinggi atau rendahnya tindak kriminal (seperti korupsi) tidak
banyak terkait dengan agama, tetapi justru lebih disebabkan karena: (a) lemahnya
penegakan hukum atau soft state (negara lembek) dalam penegakan hukum,
semuanya bisa diatur dengan sogok menyogok, money politics, dan KUHP
(Kasih Uang Habis Perkara), (b) mewabahnya gaya hidup hedonistik, (c) kurang
adanya political will dan keteladanan dari pejabat-pejabat publik untuk
memberantas korupsi atau penyakit sosial lainnya. Karena itu, tidaklah adil
kalau orang secara simplisit mengkambinghitamkan agama.
Konklusi di atas, jika ditelaah dalam
perspektif pendidikan, pada dasarnya secara langsung atau tidak, masalah
korupsi akan berhubungan dengan persoalan pendidikan. Kontribusi pendidikan
dalam konteks ini adalah pada pengebangan mentalitas manusia yang merupakan produknya.
Karena itu, timbul persoalan “apakah pendidikan dapat mendukung budaya korupsi
makin marak”? ataukah sebaliknya “pendidikan justru dapat memberantas budaya
korupsi”?. Jika pendidikan dikatakan memiliki kontribusi ‘secara langsung atau
tidak’ dalam mendukung budaya korupsi tersebut, maka aspek-aspek manakah dari
aktivitas pendidikan kita yang dapat mendukungnya? Dan bagaiamna solusi
pemecahannya? Sebaliknya, jika pendidikan justru dapat memberantas budaya
korupsi, maka peran-peran apa yang bisa dimainkan di dalam aktivitas pendidikan
tersebut? Model pendidikan seperti apa yang dapat mewujudkan upaya pencegahan
dan pemberantasan korupsi yang merajalela ini ?
Benarkah Pendidikan dapat Mendukung Budaya Korupsi
Korupsi menurut Transparancy International "Perilaku pejabat publik, baik politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka
yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka". Sedangkan, penulis dengan gegabah mendefinisikan korupsi adalah usaha-usaha
untuk mengamankan kekayaan atau kekuasaan melalui cara-cara tidak sah-keuntungan
pribadi atas biaya rakyat.
Agaknya tidak adil jika jika sekolah/perguruan
tinggi dipandang sebagai satu-satunya instituasi yang banyak diwacanakan
berkaitan dengan persoalan krisis akhlak atau moral, seperti korupsi dalan
lain-lain, sementara sistem politik, masyarakat dan keluarga seolah-olah luput
dari perhatian. Padahal, institusi-nstitusi tersebut memegang peran dominan
dalam perkembangan perilaku para peserta didik. Di samping itu, kenyataan
menunjukkan bahwa tantangan global dalam konteks budaya, life style
(gaya hidup) tidak cukup tertanggulangi lewat pendidikan sekolah an sich.
Karena itu, sangat tidak adil mengkambinghitamkan pendidikan sekolah/perguruan
tinggi berkaitan dengan krisis akhlak atau moral tersebut.
Pendidikan sebagai institusi sosial, jika
dilihat dari organisasi pelaksanaannya dapat dikelompokan ke dalam
pendidikan formal, nonformal, dan informal, yang menurut UU Nomor 20/2003
tentang sistem pendidikan nasional disebut jalur pendidikan, yaitu wahana yang
dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses
pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Ketiga-tiganya saling
melengkapi dan memperkaya. Jika dilihat dari struktur hubungan
anatarmanusianya, dalam institusi pendidikan itu dapat diklasipikasikan ke
dalam tiga hubungan, yaitu: (a) hubungan atasan bawahan, (b) hubungan
profesional, (c) hubungan sederajat atau sukarela. Hubungan atasan-bawahan
mengandaikan perlunya kepatuhan dan loyalitas bawahan terhadap atasannya.
Hubungan profesional mengadaikan adanya penciptaan hubungan yang rasional,
kritis dinamis antarsesama peserta didik atau dengan guru, asah dan asuh.
Hubungan sederajat atau sukarela merupakan hubungan manusia antarteman sejawat,
untuk saling membantu, mengingatkan dan melengkapi antar satu dengan lainnya.
Ketiga hubungan tersebut perlu didudukan secara proporsional dengan dilandasi
oleh kode etik tertentu, untuk menghidari tumpang tindih.
Dalam konteks pendidikan sekolah/perguruan
tinggi, selama ini terdapat beberapa titik lemah yang melekat pada pendidikan
kita, diantaranya: (1) paradigma yang dikembangkan lebih menekankan pada
mekanisme (untuk tidak mengatakan dikotomis), (2) inovasi pendidikan yang
dilakukan cenderung merupakan top-down inovation, (3) keberhasilan pendidikan
lebih banyak diukur dari keunggulan ranah kognitif dan kurang mengukur ranah
afektif dan psikomotor, sehingga pembinaan watak dan budi pekerti terabaikan,
(4) titel dan gelar menjadi target pendidikan yang tidak disertasi dengan
tanggung jawab ilmiah yang mumpuni, sehingga terjadi pengejaran titel yang
kurang sehat, (5) manajemen pendidikan yang menekankan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah dan bukan kepada seluruh stakeholders
pendidikan, seperti masyarakat, orang tua, guru, dan siswa/mahasiswa itu
sendiri, (6) profesi guru terkesan menjadi profesi ilmiah saja dan kurang
disertai dengan bobot profesi kemanusiaan, (7) sistem pendidikan kita masih
kurang memiliki komitmen terhadap dan kurang mendukung peningkatan kualitas
proses dan hasil pendidikan.
Badan PBB mengklasifikasikan 10 tindak pidana
korupsi yang perlu diperangi bersama, yaitu: suap, penggelapan, pemalsuan,
pemerasan, menyalahgunakan wewenang, bisnis orang dalam, pemberian komisi,
pilih kasih, nepotisme, dan sumbangan ilegal. Kondisi pendidikan kita yang
menyimpan beberapa titik lemah tersebut di atas, akan mempunyai ekses terhadap mentalitas
pelaksanaan pendidikan sekaligus para lulusannya, yang pada gilirannya secara
langsung atau tidak, akan mendukung terhadap sikap dan tindak korupsi dengan
berabagai macamnya tersebut (lihat Badan PBB).
Menurut Sarwedi Oemarmadi (2003) menengarai
dunia pendidikan kita dapat menjadikan penyebab semakin maraknya praktik
korupsi di negeri ini, yaitu: (1) kalau para pengambil kebijakan di bidang
pendidikan tetap bersikap acuh tak acuh dan tidak mau mengambil keputusan apa
pun untuk menjadikan dunia pendidikan seabgai benteng utama dalam upaya
pencegahan merabahnya penyakit korupsi, (2) kalau para pengabil kebijakan di
dunia pendidikan membiarkan dirinya tidak proaktif untuk menata kembali sistem
pendidikan tinggi di Indonesia.
Karena itu, perlu dicarikan solusi
pemecahannya terutama dalam hal: (a) memperbaiki paradigma pendidikan yang
lebih bersifat sistemik dan integratif, (b) memperbaiki model dan strategi
inovasi pendidikan yang lebih bersifat bottom-up, (c) memperbaiki ukuran
keberhasilan pendidikan atau perbaikan paradigma keberhasilan pendidikan yang
bukan hanya menekankan para ranah kognitif, tetapi sekaligus ranah afektif dan
psikomotorik, (d) penetapan aturan yang relatif ketat dalam penetapan kenaikan
kelas atau pelulusan studi dan dalam hal pemberian gelar akademis, (e) dan desentraliasi
dan otonomi pendidikan yang konsisten.
Catatan Akhir
Pendidikan secara langsung atau tidak dapat
mendukung budaya korupsi bilamana (a) pendidikan kita masih menyimpan beberapa
titik lemah, terutama dalam hal rendahnya pembinaan mentalitas para peserta
didiknya, serta praktik dunia pendidikan yang dapat membuka peluang dan
kesempatan bagi praktik-praktis korupsi, (b) perguruan tinggi tetap bersikap
acuh tak acuh dan tidak mau mengambil keputusan apa pun untuk menjadikan dunia
pendidikan sebagai benteng utama dalam upaya pencegahan merambahnya penyakit
korupsi dan membiarkan dirinya tidak proaktif dalam mengatasi masalah tersebut,
yang pada gilirannya akan berimplikasi pada minimnya pemahaman para lulusan PT
atau malah blank tentang seluk beluk korupsi dan anti korupsi.
Walaupun demikian, aktivitas pendidikan dapat
memiliki kontribusi dalam mencegah dan mengatasi budaya korupsi, dengan jalan
menjadikan pendidikan agama sebagai core pengembangan pendidikan di
sekolah, yang diwujudkan dalam bentuk: (a) pengembangan nilai-nilai hidup yang
terkandung dalam setiap mata pelajaran yang ada dalam struktur kurikulum secara
interaktif, sinergis dan terpadu yang merupakan manifestasi dan pengejawantahan
dari ajaran dan nilai-nilai agama, (b) melalui kode etik sekolah yang dibangun
dari nilai-nilai agama, dan selanjutnya para pendidik melakukan rekayasa atau
intervensi untuk menciptakan lahan-lahan pergumulan dialektik, yang dilakukan
dalam penataan situasi dan kondisi lingkungan internal dan eksternal sekolah
yang mencerminkan keterpaduannya dalam belajar memiliki, menginternalisasi,
mempribadi-kan dan mengebangkan kode etik tersebut secara praktis dan
operasional, (c) penciptaan suasana religius yang dilandasi oleh komitmen dan
loyalitas bersama antara para warga sekolah melalui pendekatan pembiasaan,
keteladanan, dan pendekatan persuasif. Agar nilai-nilai hidup yang religius
tersebut dapat memberi warna terhadap masyarakatnya, maka perlu dikembangkan
teori pendidikan rekonstruksi sosial berlandaskan tauhid, yaitu pembelajaran
diarahkan pada upaya pembangunan dan perbaikan kembali situasi masyarakat yang
sedang mengalami kritis, melalui penggalian tema-tema, isu-isu dan problem
krusial yang dihadapi oleh masyarakat untuk dipecahkan dan dibatasi bersama
dalam perspektif agama.
Implementasi dalam pembelajaran lebih
menekankan pada bekerja secara kelompok atau kooperatif dan kolaboratif, yang
bukan hanya bermakna kerja sama antara peserta didik dengan para pendidik,
peserta didik lainnya, maupun sumber-sumber belajar yang tersedia, tetapi juga
bermakna penerapan pendekatan inter atau multidisipliner dan lintas disiplin dalam
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat dengan mendudukkan nilai-nilai dan
spirit agama sebagai payungnya menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Tema
pembelajaran tentang korupsi dan anti korupsi misalnya, adalah masalah (penyakit)
sosial yang didudukkan dalam konteks kewajiban setiap umat beragama untuk
memberantasnya, sehingga upaya mencegah dan mengatasinya dilandasi oleh
nilai-nilai dan spirit agama, sedangkan cara kerjanya dapat menggunakan
pendekatan psikologis, pedagogis atau andragogis, sosiologis, ekonomi, dan
bahkan kebijakan politik. Makalah yang singkat ini jauh untuk dikatakan
sempurna. Oleh karena itu, melalui forum diskusi mingguan ini besar harapan
kami untuk memberikan masukan dan kritikannya sehingga akan tambah sempurna.
Terima kasih semoga bermanfaat!!!