Kamis, 14 April 2016



SINERGITAS VISI DALAM PENGUATAN KURIKULUM PTKIN
(Kaijan tentang Kurikulum UIN SGD Bandung)
Oleh: Pepen Supendi

Berdasarkan kurikulum UIN SGD Bandung, output dan outcome lulusannya didesain untuk memenuhi seluruh persyaratan atau komponen kurikulum UIN SGD Bandung. Pada tingkat dokumen, kurikulum UIN SGD Bandung yang ada sekarang telah mengandung visi, misi, tujuan, substansi kajian, mata kuliah, silabus, RPS, dan instrumen evaluasi (baik evaluasi pembelajaran maupun evaluasi kurikulum). Sedangkan, pada tingkat implementasi, kurikulum UIN SGD Bandung sedang peningkatan implementasi menuju perbaikan dan pencapaian kualitas ideal (unggul dan kompetitif) dengan mempertimbangkan kemampuan, SDM, serta dinamika internal dan eksternal.
Secara implisit, kurikulum UIN SGD Bandung memberikan ruang bagi empat unsur pokok, yaitu: (1) penanaman nilai-nilai keislaman; (2) pengembangan dan tranformasi IPTEKS; (3) pengembangan profesionalisme dan kompetensi; serta (4) kesesuaian dengan kebutuhan pasar. Dari keempat unsur utama tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kurikulum UIN SGD Bandung merupakan konvergensi dari eempat tipe kurikulum, yaitu: (1) kurikulum berbasis nilai, yang berorientasi pada penanaman nilai; (2) kurikulum subjek akademis, yang berorientasi pada pengembangan dan tranformasi IPTEKS, (3) KBK (kurikulum berbasis kompetensi), yang berorientasi pada pengembangan kompetensi dan profesionalisme; dan (4) kurikulum berbasis kebutuhan pasar atau KKNI, yang berorientasi pada untuk memenuhi kebutuhan pasar atau dunia kerja.
Hasil konvergensi atau peramuan dari keempat tipe kurikulum di atas, nampaknya belum menemukan hasil final atau titik akhir, baik dalam bentuk maupun dalam implementasinya. Oleh karena itu, kurikulum UIN SGD Bandung akan terus berdinamika dan berdialektika menuju INOVASI dan penyempurnaan. Namun, apapun namanya dari bentuk kurikulum UIN SGD Bandung yang ada pada saat ini, ada yang perlu diketahui bahwa: (1) kurikulum terus diupayakan diinovasi dan dikembangkan serta semuanya diorientasikan untuk menjadikan UIN SGD Bandung, sebagai institusi yang unggul dan kompetitif dalam berbagai kajian baik di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional; (2) mencetak sarjana (output) yang memiliki keunggulan akhlak karimah, kompetitif dalam profesionalisme (di dunia kerja), memiliki intelektualitas yang unggul, mandiri, inovatif, kreatif, dan berwawasan ke masa depan dalam menyongsong era MEA.
Dari gambaran kurikulum di atas, tersirat bahwa salah satu unsur utama dalam bentuk kurikulum UIN SGD Bandung ialah upaya penanaman nilai ke-Islaman, sehingga salah satu standar bagi output alumnipun yaitu memiliki keunggulan akhlak karimah, selain unggul dan kompetitif dalam bidang profesionalisme dan intelektualisme sesuai dengan kaijan prodi masing-masing. Keunggulan dalam bidang akhlak ini bagi civitas akademika UIN SGD Bandung mengacu pada paradigma “WAHYU MEMANDU ILMU”. Lebih jauh lagi, sesuai dengan visi dan misi Kementerian Agama RI dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, salah satu ciri pembeda dari UIN SGD Bandung adalah seluruh proses implementasi kurikulumnya memberikan ruang proporsional bagi penanaman nilai akhlak atau unggul dalam akhlak karimah. Keungglulan dalam nilai atau akhlak karimah, nampaknya sudah menjadi kesepakatan bersama. Namun, persoalan kemudian ialah bagaimana mendesain implementasi kurikulum, terutama proses pembelajaran dan evaluasinya yang mampu menghasilkan mahasiswa yang unggul dalam akhlak, selain juga harus kompetitif, profesional, mandiri dan lainnya.
Setidaknya, ada empat hal yang dapat dirumuskan dalam upaya keunggulan akhlak karimah, yaitu: (1) mengorientasikan mata kuliah-mata kuliah yang kental dengan nuansa agamanya, seperti metodologi studi Islam, al-Quran Hadis, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, dan akhlak tasawuf dalam upaya pembentukan sikap dan perilaku “Islami”; (2) memperkaya substansi kajian (materi RPS) dari mata kuliah-mata kuliah berbasis program studi dengan materi-materi ke-Islaman; (3) menegakkan aturan-aturan dalam semua kegiatan kemahasiswaan; dan (4) memperkaya perspektif ke-Islaman dalam tambahan.

Senin, 11 April 2016

Korupi dan Pendidikan: Sebuah Renungan



KORUPSI DAN PENDIDIKAN
Oleh: Dr. Pepen Supendi, M.Ag.

 Pengantar
Hasil survey dari Internasional Country Risk Guide Index (ICRGI), sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra (2003) bahwa sejak tahun 1992 hingga 2000: (a) Indeks korupsi Indonesia yang mayoritas agama Islam terus meningkat dari sekitar 7 menjadi hampir 9 (tahun 2000). Bahkan menurut hasil studi PERC (The Political and Economic Risk Consultancy) tahun 2004 tentang Corruption Country, Indonesia berada pada rengking pertama se-Asia, dengan indeks 9,25, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 9, 4; (b) Di Rusia yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir 9 pada tahun 2000; (c) Pakistan, Banglades dan Nigeria yang mayoritas penduduk Muslim, memiliki indeks korupsi rata-rata di atas 7; (d) Argentina, Meksiko, Filipina atau Kolombia yang berpenduduk mayoritas Kristiani, indeks korupsinya juga di atas 7; (e) Thailand yang mayoritas penduduknya Budha, indeks korupsinya hampir mencapai 8; (f) Sedangkan, di Iran, Arab Saudi, Syria atau Malaysia yang mayoritas penduduknya Muslim, indeks korupsinya jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia dan Pakistan.
Bertolak dari hasil survei di atas, dapat disimpulkan bahwa tinggi atau rendahnya tindak kriminal (seperti korupsi) tidak banyak terkait dengan agama, tetapi justru lebih disebabkan karena: (a) lemahnya penegakan hukum atau soft state (negara lembek) dalam penegakan hukum, semuanya bisa diatur dengan sogok menyogok, money politics, dan KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), (b) mewabahnya gaya hidup hedonistik, (c) kurang adanya political will dan keteladanan dari pejabat-pejabat publik untuk memberantas korupsi atau penyakit sosial lainnya. Karena itu, tidaklah adil kalau orang secara simplisit mengkambinghitamkan agama.
Konklusi di atas, jika ditelaah dalam perspektif pendidikan, pada dasarnya secara langsung atau tidak, masalah korupsi akan berhubungan dengan persoalan pendidikan. Kontribusi pendidikan dalam konteks ini adalah pada pengebangan mentalitas manusia yang merupakan produknya. Karena itu, timbul persoalan “apakah pendidikan dapat mendukung budaya korupsi makin marak”? ataukah sebaliknya “pendidikan justru dapat memberantas budaya korupsi”?. Jika pendidikan dikatakan memiliki kontribusi ‘secara langsung atau tidak’ dalam mendukung budaya korupsi tersebut, maka aspek-aspek manakah dari aktivitas pendidikan kita yang dapat mendukungnya? Dan bagaiamna solusi pemecahannya? Sebaliknya, jika pendidikan justru dapat memberantas budaya korupsi, maka peran-peran apa yang bisa dimainkan di dalam aktivitas pendidikan tersebut? Model pendidikan seperti apa yang dapat mewujudkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang merajalela ini ?

Benarkah Pendidikan dapat Mendukung Budaya Korupsi
Korupsi menurut Transparancy International "Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka". Sedangkan, penulis dengan gegabah mendefinisikan korupsi adalah usaha-usaha untuk mengamankan kekayaan atau kekuasaan melalui cara-cara tidak sah-keuntungan pribadi atas biaya rakyat.
Agaknya tidak adil jika jika sekolah/perguruan tinggi dipandang sebagai satu-satunya instituasi yang banyak diwacanakan berkaitan dengan persoalan krisis akhlak atau moral, seperti korupsi dalan lain-lain, sementara sistem politik, masyarakat dan keluarga seolah-olah luput dari perhatian. Padahal, institusi-nstitusi tersebut memegang peran dominan dalam perkembangan perilaku para peserta didik. Di samping itu, kenyataan menunjukkan bahwa tantangan global dalam konteks budaya, life style (gaya hidup) tidak cukup tertanggulangi lewat pendidikan sekolah an sich. Karena itu, sangat tidak adil mengkambinghitamkan pendidikan sekolah/perguruan tinggi berkaitan dengan krisis akhlak atau moral tersebut.
Pendidikan sebagai institusi sosial, jika dilihat dari organisasi pelaksanaannya dapat dikelompokan ke dalam pendidikan formal, nonformal, dan informal, yang menurut UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebut jalur pendidikan, yaitu wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Ketiga-tiganya saling melengkapi dan memperkaya. Jika dilihat dari struktur hubungan anatarmanusianya, dalam institusi pendidikan itu dapat diklasipikasikan ke dalam tiga hubungan, yaitu: (a) hubungan atasan bawahan, (b) hubungan profesional, (c) hubungan sederajat atau sukarela. Hubungan atasan-bawahan mengandaikan perlunya kepatuhan dan loyalitas bawahan terhadap atasannya. Hubungan profesional mengadaikan adanya penciptaan hubungan yang rasional, kritis dinamis antarsesama peserta didik atau dengan guru, asah dan asuh. Hubungan sederajat atau sukarela merupakan hubungan manusia antarteman sejawat, untuk saling membantu, mengingatkan dan melengkapi antar satu dengan lainnya. Ketiga hubungan tersebut perlu didudukan secara proporsional dengan dilandasi oleh kode etik tertentu, untuk menghidari tumpang tindih.
Dalam konteks pendidikan sekolah/perguruan tinggi, selama ini terdapat beberapa titik lemah yang melekat pada pendidikan kita, diantaranya: (1) paradigma yang dikembangkan lebih menekankan pada mekanisme (untuk tidak mengatakan dikotomis), (2) inovasi pendidikan yang dilakukan cenderung merupakan top-down inovation, (3) keberhasilan pendidikan lebih banyak diukur dari keunggulan ranah kognitif dan kurang mengukur ranah afektif dan psikomotor, sehingga pembinaan watak dan budi pekerti terabaikan, (4) titel dan gelar menjadi target pendidikan yang tidak disertasi dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni, sehingga terjadi pengejaran titel yang kurang sehat, (5) manajemen pendidikan yang menekankan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah dan bukan kepada seluruh stakeholders pendidikan, seperti masyarakat, orang tua, guru, dan siswa/mahasiswa itu sendiri, (6) profesi guru terkesan menjadi profesi ilmiah saja dan kurang disertai dengan bobot profesi kemanusiaan, (7) sistem pendidikan kita masih kurang memiliki komitmen terhadap dan kurang mendukung peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan.
Badan PBB mengklasifikasikan 10 tindak pidana korupsi yang perlu diperangi bersama, yaitu: suap, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, menyalahgunakan wewenang, bisnis orang dalam, pemberian komisi, pilih kasih, nepotisme, dan sumbangan ilegal. Kondisi pendidikan kita yang menyimpan beberapa titik lemah tersebut di atas, akan mempunyai ekses terhadap mentalitas pelaksanaan pendidikan sekaligus para lulusannya, yang pada gilirannya secara langsung atau tidak, akan mendukung terhadap sikap dan tindak korupsi dengan berabagai macamnya tersebut (lihat Badan PBB).
Menurut Sarwedi Oemarmadi (2003) menengarai dunia pendidikan kita dapat menjadikan penyebab semakin maraknya praktik korupsi di negeri ini, yaitu: (1) kalau para pengambil kebijakan di bidang pendidikan tetap bersikap acuh tak acuh dan tidak mau mengambil keputusan apa pun untuk menjadikan dunia pendidikan seabgai benteng utama dalam upaya pencegahan merabahnya penyakit korupsi, (2) kalau para pengabil kebijakan di dunia pendidikan membiarkan dirinya tidak proaktif untuk menata kembali sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
Karena itu, perlu dicarikan solusi pemecahannya terutama dalam hal: (a) memperbaiki paradigma pendidikan yang lebih bersifat sistemik dan integratif, (b) memperbaiki model dan strategi inovasi pendidikan yang lebih bersifat bottom-up, (c) memperbaiki ukuran keberhasilan pendidikan atau perbaikan paradigma keberhasilan pendidikan yang bukan hanya menekankan para ranah kognitif, tetapi sekaligus ranah afektif dan psikomotorik, (d) penetapan aturan yang relatif ketat dalam penetapan kenaikan kelas atau pelulusan studi dan dalam hal pemberian gelar akademis, (e) dan desentraliasi dan otonomi pendidikan yang konsisten.
Catatan Akhir
Pendidikan secara langsung atau tidak dapat mendukung budaya korupsi bilamana (a) pendidikan kita masih menyimpan beberapa titik lemah, terutama dalam hal rendahnya pembinaan mentalitas para peserta didiknya, serta praktik dunia pendidikan yang dapat membuka peluang dan kesempatan bagi praktik-praktis korupsi, (b) perguruan tinggi tetap bersikap acuh tak acuh dan tidak mau mengambil keputusan apa pun untuk menjadikan dunia pendidikan sebagai benteng utama dalam upaya pencegahan merambahnya penyakit korupsi dan membiarkan dirinya tidak proaktif dalam mengatasi masalah tersebut, yang pada gilirannya akan berimplikasi pada minimnya pemahaman para lulusan PT atau malah blank tentang seluk beluk korupsi dan anti korupsi.
Walaupun demikian, aktivitas pendidikan dapat memiliki kontribusi dalam mencegah dan mengatasi budaya korupsi, dengan jalan menjadikan pendidikan agama sebagai core pengembangan pendidikan di sekolah, yang diwujudkan dalam bentuk: (a) pengembangan nilai-nilai hidup yang terkandung dalam setiap mata pelajaran yang ada dalam struktur kurikulum secara interaktif, sinergis dan terpadu yang merupakan manifestasi dan pengejawantahan dari ajaran dan nilai-nilai agama, (b) melalui kode etik sekolah yang dibangun dari nilai-nilai agama, dan selanjutnya para pendidik melakukan rekayasa atau intervensi untuk menciptakan lahan-lahan pergumulan dialektik, yang dilakukan dalam penataan situasi dan kondisi lingkungan internal dan eksternal sekolah yang mencerminkan keterpaduannya dalam belajar memiliki, menginternalisasi, mempribadi-kan dan mengebangkan kode etik tersebut secara praktis dan operasional, (c) penciptaan suasana religius yang dilandasi oleh komitmen dan loyalitas bersama antara para warga sekolah melalui pendekatan pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif. Agar nilai-nilai hidup yang religius tersebut dapat memberi warna terhadap masyarakatnya, maka perlu dikembangkan teori pendidikan rekonstruksi sosial berlandaskan tauhid, yaitu pembelajaran diarahkan pada upaya pembangunan dan perbaikan kembali situasi masyarakat yang sedang mengalami kritis, melalui penggalian tema-tema, isu-isu dan problem krusial yang dihadapi oleh masyarakat untuk dipecahkan dan dibatasi bersama dalam perspektif agama.
Implementasi dalam pembelajaran lebih menekankan pada bekerja secara kelompok atau kooperatif dan kolaboratif, yang bukan hanya bermakna kerja sama antara peserta didik dengan para pendidik, peserta didik lainnya, maupun sumber-sumber belajar yang tersedia, tetapi juga bermakna penerapan pendekatan inter atau multidisipliner dan lintas disiplin dalam memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat dengan mendudukkan nilai-nilai dan spirit agama sebagai payungnya menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Tema pembelajaran tentang korupsi dan anti korupsi misalnya, adalah masalah (penyakit) sosial yang didudukkan dalam konteks kewajiban setiap umat beragama untuk memberantasnya, sehingga upaya mencegah dan mengatasinya dilandasi oleh nilai-nilai dan spirit agama, sedangkan cara kerjanya dapat menggunakan pendekatan psikologis, pedagogis atau andragogis, sosiologis, ekonomi, dan bahkan kebijakan politik. Makalah yang singkat ini jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu, melalui forum diskusi mingguan ini besar harapan kami untuk memberikan masukan dan kritikannya sehingga akan tambah sempurna.

Terima kasih semoga bermanfaat!!!